JAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus korupsi yang menyeret politikus di Tanah Air dalam beberapa bulan terakhir bakal membuat indeks persepsi korupsi (IPK) kembali menurun.
Apalagi kasus yang menyeret politikus ini muncul di tengah tingginya tensi politik jelang Pilpres 2024.
Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan, IPK Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya.
Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan, dalam kajiannya, Transparency Internasional menyorot soal tidak ada terobosannya kebijakan dalam pemberantasan korupsi.
Menurutnya, IPK Indonesia akan semakin menurun setelah munculnya kasus korupsi pengadaan menara BTS 4G, ekspor CPO dan minyak goreng yang ditangani Kejaksaan hingga munculnya Muhaimin Iskandar dalam agenda pemeriksaan saksi di KPK.
Baca Juga: Saut Situmorang: Dewas KPK Tidak Paham dengan Nilai yang Mereka Anut | SATU MEJA THE FORUM
Persepsi masyarakat dan pegiat antikorupsi internasional pastinya akan menilai kasus-kasus dugaan korupsi yang menyeret nama politikus sebagai bahan kajian dalam menentukan IPK.
"Ini mejelang Pemilu, saya duga mungkin tahun depan bisa jadi IPK turun," ujar Saut di program KOMPAS TV, Rabu (6/9/2023).
"Indeks persepsi korupsi yang diukur adalah persepsi. Persepsi ini kan dibangun dari perilaku penegak hukum, perilaku antikorupsi, masyarakat dan tokoh politik dan seterusnya," sambung Saut.
Saut menyatakan, terobosan kebijakan dalam pemberantasan korupsi memang diperlukan, apalagi masyarakat pada tahun depan akan memilih pemimpin negara.
Menurutnya, perlu ada kearifan dan kebijaksanaan dalam berpolitik dan membangun sistem pemerintahan yang baik.
Baca Juga: Kasus Firli Bahuri Dihentikan karena Tak Cukup Bukti, Eks Wakil Ketua KPK: Engga Masuk Akal!
Agar pesepsi korupsi tidak semakin turun, maka suara-suara yang mendorong permasalahan semakin besar perlu diredam.
Semisal kasus-kasus di KPK yang membuat persepi publik terhadap penanganan korupsi menurun harus berjalan tegak lurus, tidak tebang pilih.
Kemudian di politik prinsip demokrasi perlu dijalankan dengan benar dan tidak menggunakan kekuasan untuk menyingkirkan orang lain.
"Supaya tidak noisily sebaiknya kalau kuat buktinya bisa di-slow down dulu toh penyidikan, pengeledahan sudah jalan. Emang mau pengadilan besok, buru-buru," ujar Saut.
Kepercayaan terhadap KPK
Lebih lanjut, Saut menilai, faktor lain yang membuat IPK Indonesia bisa menurun yakni kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Baca Juga: KPK Panggil Cak Imin jadi Saksi Usai Deklarasi Bacawapres, Hukum atau Politik?
Menurutnya, terlalu naif jika KPK saat ini tidak telepas dari kepentingan politik. Sebab, KPK bukan lagi lembaga independen lantaran pegawainya merupakan aparatur sipil negara.
Belum tuntasnya kasus suap komisioner KPU dengan tersangka Harun Masiku belum tertangkap hingga munculnya nama Muhaimin Iskandar, menjadi bagian-bagian kecil yang membuat persepsi KPK di bawah bayang-bayang kekuasaan benar terjadi.
"Naif kalau kita bilang ini tidak politik. Kita lihat saja kasus Formula E, 19 kali ekspose sampai mengorbankan dua orang. Beberapa bulan sebelumnya disebut-sebut, Cak Imin (Muhaimin) ini juga disebut-sebut oleh salah satu pimpinannya," ujar Saut.
"Kalau bicara penegakan hukum itu harus terus bertahap, itu yang kemudian tidak terjadi di KPK karena kondisi di dalam penuh dengan konflik kepentingan, tidak transparan dan akuntabel. Anda akuntabel mecat 57 orang. Itu potongan informasi yang tidak bisa dibuang begitu saja. Ada mosaik-mosaik yang menunjukkan kita sulit mempercayai mereka di dalam sekarang," pungkasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.