JAKARTA, KOMPAS.TV - Daerah Jabodetabek mendadak diguyur hujan di tengah musim kemarau Juli-Agustus 2023 hasil perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Hujan yang mengguyur Jabodetabek pada Minggu (27/8/2023) sore hingga malam itu ternyata merupakan hasil modifikasi cuaca yang dilakukan BMKG.
Penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC) ini dilakukan untuk mengatasi masalah polusi udara di wilayah sekitar Ibu Kota yang diketahui dalam beberapa pekan terakhir sangat mengkhawatirkan.
Hujan buatan hasil TMC di Jabodetabek bukan pertama kali dilakukan. Menilik sejarahnya, TMC sudah digagas sejak era Presiden ke-2 RI Soeharto yang melihat pertanian negara Thailand cukup maju.
Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) BJ Habibie menjadi menteri yang ditunjuk Soeharto untuk mempelajari TMC. Di tahun 1977, proyek percobaan hujan buatan dimulai. Waktu itu, pelaksanaannya masih didampingi asistensi dari Thailand.
Baca Juga: Modifikasi Cuaca: Apa Itu Hujan Buatan, Cara Membuat dan Sejarahnya di Indonesia?
Di tahun selanjutnya pada 1978, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri. Kala itu, proyek hujan buatan berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA).
Tahun 1985, berdiri Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hujan Buatan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT nomor 342/KA/BPPT/XII/1985.
Lalu pada 2015, mulai dikenal istilah teknologi modifikasi cuaca sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT 10/2015 yang mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.
Terakhir, yakni pada 2021, setelah terintegrasi ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kini pelayanan TMC berada di Laboratorium Pengelolaan TMC di bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi.
Selain menciptakan hujan buatan, TMC juga berperan mengurangi curah hujan. Aplikasinya dilakukan saat SEA Games XXVI Palembang 2011.
Baca Juga: Prediksi Musim Hujan di Oktober-November, BMKG: Waspada Puncak Kemarau
Kemudian dilakukan untuk penanggulangan banjir Jakarta pada 2013, 2014, dan 2020, MotoGP Mandalika 2022, hingga yang terakhir KTT G20 2022.
Berkaca dari keberhasilan KTT G20 2022 mengadang awan-awan hujan, (Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan berkeinginan ada lembaga khusus yang menangani modifikasi cuaca.
Sosok yang berpengaruh pada tim modifikasi cuaca di KTT G20 2022 adalah Dr Tri Handoko Seto, pakar TMC.
Luhut sempat berdiskusi dengan Tri Handoko mengenai seberapa besar manfaat modifikasi cuaca ke depan bagi Indonesia.
Baca Juga: Seluk Beluk Hujan Buatan, Ini Penjelasan Ilmiahnya
Menurut Tri Handoko, TMC bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan. Semisal untuk membuat hujan buatan, mengairi waduk sebelum musim kemarau tiba, mengantisipasi kekeringan hingga irigasi pertanian.
Mendengar seluruh pemaparan dan diskusi membuat Luhut sadar pentingnya lembaga yang secara khusus mengembangkan TMC untuk kepentingan bangsa.
Apalagi jika melihat mata anggaran di beberapa kegiatan pemerintah, Luhut menilai tim khusus TMC mendapat porsi anggaran yang paling kecil, padahal peranannya sangat penting.
"Saya sampai pada satu kesimpulan bahwa sains dan teknologi sebesar ini perlu lembaga khusus yang menaungi teknologi modifikasi cuaca. Karena saya dengar dari pemaparan beliau (Tri Handoko, red), negara lain seperti Thailand punya lembaga khusus TMC dengan pertangungjawaban kepada Raja," ujar Luhut dalam unggahan lewat akun Instagram pribadinya, Kamis (24/11/2022).
"Sebagai manusia, tugas kita hanya bekerja, hasilnya bukan kuasa kita. Semoga ke depan, bangsa Indonesia bisa semakin menguasai teknologi ini," sambungnya.
Baca Juga: KTT ASEAN 2023: BMKG hingga Mba Rara Dilibatkan Untuk Modifikasi Cuaca Labuan Bajo Tetap Cerah
Efektivitas hujan buatan hasil TMC dalam mengurangi polusi udara masih menjadi perdebatan. Data menunjukkan hujan buatan berhasil membersihkan udara sejenak, namun polusi udara di Jakarta cenderung kembali meningkat di pagi harinya.
Data dari situs IQAir, polusi udara Jakarta pada Minggu sore baru turun pada pukul 18.00 WIB hingga 22.00 WIB. Itu pun baru masuk kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Indeks kualitas udara Jakarta pada rentang waktu tersebut berada di angka 149-131 dengan titik paling rendah pada pukul 20.00 WIB di angka 112.
Setelah lewat pukul 22.00 WIB Minggu malam, kualitas udara Jakarta dan sekitarnya kembali masuk dalam kategori tidak sehat.
Baca Juga: Rahasia Rambut Kuat dan Sehat di Cuaca Panas: 9 Panduan Lengkap dari Ahli Kulit
Masih dari data situs IQAir, pada 28 Agustus 2023 pukul 07.00 hingga 11.00 WIB, polusi udara Jakarta masih masuk dalam kategori tidak sehat, bahkan terburuk kedua di dunia yang mencapai angka 163 US Air Quality Index (AQI US).
Hal ini masih menjadikan posisi Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk kedua di dunia. Ahli menyebut, hujan buatan di Jakarta bukan respons solutif, tetapi reaktif.
Dalam hal ini, situs IQAir juga merekomendasikan masyarakat mengenakan masker, menghidupkan penyaring udara, menutup jendela, dan menghindari aktivitas luar ruangan. Rekomendasi cara melindungi diri itu agar masyarakat dapat terhindar dari udara luar yang kotor.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.