JAKARTA, KOMPAS.TV - Ahli hukum tata negara, Muhammad Rullyandi, berdebat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam sidang lanjutan terdakwa Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/8/2023).
Menurut Rully, KPK seharusnya mengikuti hukum administrasi negara dalam menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka.
Dia mengatakan, dalam pertimbangan huruf c Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dijelaskan, dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diperlukan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara yang mengatur perbendaharaan negara.
"Dalam pengelolaan keuangan negara maka hukum administrasi tadi ditindaklanjuti dalam ruang lingkup pengelolaan keuangan negara yang diawasi oleh lembaga yang namanya BPK," ujar Rully dalam sidang, Senin.
Dia menambahkan, dalam Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tangung Jawab Keuangan Negara, BPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melaporkan temuan unsur pidana kepada instansi yang berwenang.
Baca Juga: Debat Jaksa dan Ahli Meringankan Lukas Enembe di Persidangan, hingga Diingatkan Hakim
Jika berkaitan dengan tindak pidana korupsi, kata dia, akan berlaku UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam UU tersebut, UU pidananya harus ditentukan oleh BPK.
"Jadi saya memaknai pasal pidana (Pasal 14 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tangung Jawab Keuangan Negara) ini termasuk suap dan gratifikasi ini harus diuji dulu oleh BPK, baru kemudian BPK melapor ke instansi berwenang. Itulah jalan pemikiran yang benar," ujar Rully.
Mendengar pernyataan tersebut, JPU KPK menanyakan peran hukum adminstrasi negara dalam operasi tangkap tangan (OTT).
JPU menilai pasal yang disangkakan terhadap Lukas Enembe sama dengan pasal yang disangkakan kepada para tersangka korupsi yang terjaring dalam OTT.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.