JAKARTA, KOMPAS.TV - Dalam rapat dengan Komisi XI DPR pada Rabu (29/3/2023) lalu, Menkopolhuham Mahfud MD menyatakan anak buah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menutup akses informasi soal transaksi mencurigakan Rp189 triliun. Akibatnya, Sri Mulyani tidak mengetahuinya.
Terkait hal itu, Wakil Menkeu Suahasil Nazara buka suara. Ia menerangkan, pergerakan dana mencurigakan senilai Rp189 triliun itu terkait tindak pidana kepabeanan ekspor emas.
Pada Januari 2016, pihak Bea Cukai mencegah ekspor logam mulia. Dalam dokumen ekspor disebutkan isi barang tersebut adalah 218 kg perhiasan senilai 6,8 juta dolar AS.
"Tapi isinya Ingot (emas batangan). Lalu didalami dan ada potensi tindak pidana kepabeanan dan dilakukan juga penelitian, penyelidikan, hingga pengadilan tindak pidana kepabeanan," kata Suahasil dalam konferensi pers, Jumat (31/3/2023).
Ekspor emas tersebut akhirnya distop oleh Bea Cukai. Proses peradilan kasus tersebut berlangsung pada 2017-2019.
Suahasil memaparkan, di tingkat Pengadilan Negeri, pihak Bea Cukai kalah, lalu maju untuk kasasi hingga akhirnya menang di tingkat tersebut.
Baca Juga: Soal Data Transaksi Mencurigakan, Wamenkeu: Tidak Ada Perbedaan
Kemudian pihak perusahaan yang terlibat, mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan pihak Bea Cukai kembali kalah.
"Dianggap tidak terbukti ada tindak pidana kepabeanan di PK pada 2019," ujar Suahasil.
Karena di tingkat PK kalah, pihak Kemenkeu pun tidak bisa mengusut lebih lanjut soal dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus ekspor 218 kg emas batangan itu.
"TPPU itu terkait tindak pidana asal. Saat tindak pidana asal ada, maka TPPU-nya bisa mengikuti. Kalau tindak pidana tidak terbukti di pengadilan, ya TPPU-nya enggak maju," jelas Suahasil.
Selanjutnya pada 2020, pihak Bea Cukai mengendus perusahaan yang sama melakukan ekspor emas dengan modus yang sama.
Tapi karena sudah kalah di PK pada 2019, pihak Kemenkeu pun mencoba mengejar pajak perusahaan tersebut. Pada tahun 2020, Bea Cukai dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bertukar data terkait perusahaan tersebut.
Baca Juga: Penjelasan Lengkap Wamenkeu soal Transaksi Mencurigakan Pegawai Kemenkeu
"Kalau modusnya sama, 2016 kita kalah di pengadilan. Dengan logika seperti itu, maka Agustus 2020 itu disepakati kalau tindak kepabeanan enggan kena, kita kejar pajaknya," tutur Suahasil.
Pajak perusahaan yang mengekspor logam mulia itu pun ditangani oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pihak DJP telah memeriksa sejumlah wajib pajak baik perusahaan maupun orang pribadi.
"Hingga saat ini nilai penerimaan pajak yang dihasilkan terkait dengan informasi hasil pemeriksaan PPATK tersebut senilai Rp16,8 M dan mencegah restitusi senilai Rp1,6 M," demikian tertulis dalam bahan paparan Suahasil.
Diberitakan Kompas TV sebelumnya, Mahfud MD menyebut dugaan TPPU senilai Rp189 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sengaja ditutupi oleh anak buah Menkeu Sri Mulyani.
Hal ini disampaikan Mahfud MD dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama PPATK dan Komisi III DPR RI di Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
"Yang semula ketika ditanya oleh Ibu Sri itu, 'Ini apa kok ada uang 189 (triliun)?'. Itu pejabat tingginya yang eselon I, 'Oh, ndak ada Bu di sini. Ndak pernah ada'. 'Ini yang tahun 2020'. Ada Pak Ivan (Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, red) di situ, 'Loh, ada'. Baru dia (bilang), 'Oh nanti dicari, baru dia,'" kata Mahfud.
Baca Juga: Mahfud MD Sebut Dugaan Pencucian Uang Rp189 Triliun Sengaja Ditutupi Anak Buah Sri Mulyani
Mahfud menjelaskan, PPATK telah melaporkan transaksi janggal ke Kemenkeu sejak 2017. Namun sayangnya, akses Sri Mulyani ditutupi oleh anak buahnya sendiri.
"Saya ingin menjelaskan fakta. Bahwa ada kekeliruan pemahaman Ibu Sri Mulyani dan penjelasan Ibu Sri Mulyani karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah," ujarnya.
Sehingga, kata Mahfud, yang dijelaskan Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR, tidak jelas. Bahkan, apa yang dipaparkan Sri Mulyani merupakan data yang diterima Ivan pada 14 Maret 2023.
Mahfud mengungkapkan dugaan TPPU cukai senilai Rp189 triliun ini terkait 15 entitas. Menurut dia, dari hasil pemeriksaan PPATK, TPPU itu terkait cukai impor emas.
"Dan itu menyangkut 189 (triliun), dan itu adalah dugaan TPPU cukai dengan 15 entitas, tapi laporannya menjadi pajak. Padahal ini cukai. Apa itu? Emas," ujarnya.
"Impor emas batangan yang mahal-mahal itu, tapi di dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah. Diperiksa oleh PPATK. 'Kan itu emas jadi, kok dibilang emas mentah?'. 'Ndak. Ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya'. Dicari ke Surabaya, tapi nggak ada pabriknya. Dan itu menyangkut uang miliaran. Ndak diperiksa," sambung dia.
Baca Juga: Hitung-hitungan Sandiaga, Piala Dunia U20 Batal Indonesia Rugi Rp3,7 Triliun
Laporan PPATK ini, kata Mahfud, sudah diserahkan kepada Kemenkeu sejak 2017. Laporan ini diterima Kemenkeu yang diwakili oleh sejumlah pejabat eselon I.
"Laporan itu diberikan tahun 2017 oleh PPATK. Bukan 2020. Tahun 2017 diberikan tidak pakai surat tapi diserahkan oleh Ketua PPATK langsung kepada Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Dirjen Bea Cukai, Irjen Kemenkeu, dan dua orang lainnya. Kenapa nggak pakai surat? Karena ini sensitif, masalah besar," kata dia.
Namun, laporan itu ternyata tak sampai ke tangan Sri Mulyani hingga 2020.
"Dua tahun enggak muncul. Tahun 2020, dikirim lagi, ndak sampai juga ke Bu Sri Mulyani sehingga (dia) bertanya ketika kami kasih itu. Dan ini dijelaskan, yang salah, gimana salahnya nanti," ujar Mahfud.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.