Mereka menilai, berlakunya norma-norma pasal tersebut, yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popularitas dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.
Sistem pemilu proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persangan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Seharusnya, kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu.
Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Baca Juga: Duduk Perkara Uji Materiil UU Pemilu di MK Terkait Wacana Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Salah satu kuasa hukum pemohon, Sururudin, menyatakan bahwa para pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.
Ia menguraikan salah satu masalah tersebut, yakni menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat.
Sebab, caleg akan terdorong melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga pembatalan pasal-pasal a quo akan mengurangi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.
Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN.
Para pemohon dalam petitumnya meminta agar MK menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Gugatan sistem pemilu terbuka di MK ini pun mendapat penolakan dari delapan parpol.
Mereka yang menolak wacana sistem pemilu proporsional tertutup itu terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Baca Juga: Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Ditolak 8 Parpol, Puan: Ya Silakan Saja, MK Memutuskan
Sumber : Kompas TV, Mahkamah Konstitusi
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.