JAKARTA, KOMPAS.TV – Imlek dikenal sebagai tradisi yang dirayakan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia sebagai ucapan syukur dan harapan akan rezeki di masa mendatang.
Menurut Kalender Gregorian, tahun baru Imlek jatuh di tanggal yang berbeda setiap tahunnya, antara 21 Januari hingga 20 Februari.
Tahun ini, menurut kalender China perayaan Imlek 2574 Kongzili akan dirayakan pada 22 Januari 2023.
Lalu, bagamana tradisi imlek ini terbentuk, termasuk di Indonesia?
Jika merunut literatur yang ada, sejarah tahun baru Imlek punya beberapa versi.
Mengutip Kompas.com yang merujuk pada buku karya S, Marcus. (2015). Hari Raya Tionghoa. Jakarta: Suara Harapan Bangsa, perayaan tahun baru imlek dilakukan oleh para petani di China untuk menyambut pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi.
Sebagaimana diketahui, petani dan nelayan sangat bergantung pada alam. Petani selalu menandai kapan musim dingin akan berganti ke musim semi supaya mereka bisa mulai bercocok tanam.
Sedangkan, para nelayan akan menandai lewat bulan purnama saat air pasang agar bisa memperkirakan kapan waktu yang tepat untuk mulai melaut.
Pergantian musim ini kemudian menjadi salah satu hari penting yang patut dirayakan oleh masyarakat Tionghoa saat itu, karena dipercaya dapat memberikan rezeki.
Selain itu, setiap musim semi datang, rakyat Tionghoa juga memiliki kebiasaan mengucapkan Sin Cin Kiong Hi, yang berarti Selamat Musim Semi Baru.
Perayaan yang disebut Sin Cia atau Festival Musim Semi ini berlangsung dari tanggal 1 bulan pertama (1 Cia Gwee) dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama (15 Cia Gwee).
Berbagai kegiatan yang dilakukan sepanjang perayaan itu adalah sembahyang, makan bersama keluarga, berkumpul bersama kerabat, hingga perayaan Cap Go Meh.
Perayaan ini dilakukan sebagai ungkapan syukur atas seluruh pencapaian sepanjang tahun serta harapan rezeki di tahun yang baru.
Baca Juga: Perjalanan Sejarah Imlek di Indonesia
Versi lain menyebut bahwa Imlek dirayakan untuk memeringati lahirnya Maha Dewa Giok Hong Sian Tee, yang dipercaya orang Tionghoa paling berkuasa di seluruh alam semesta.
Pada zaman dulu, ada sebuah negara bernama Kuang Yuang Miao Lo, dimana rakyatnya hidup bahagia, karena apa saja yang mereka inginkan pasti akan terkabul. Sayangnya, raja dan ratu tidak mengalami hal yang sama.
Pasalnya, Raja Tsing Teh dan permaisuri nya, Pao Yueh Goat Kuang, justru dilanda kesedihan karean belum juga mendapat keturunan. Mereka pun sangat khawatir karena tidak memiliki penerus untuk melanjutkan kerajaan mereka.
Waktu demi waktu, raja dan permaisuri terus berdoa kepada Thian (Tuhan), memohon agar segera diberikan seorang putera untuk menjadi ahli waris mereka. Sayangnya, sampai bertahun-tahun kemudian, harapan mereka belum juga terkabul.
Sampai akhirnya, pada suatu malam, permaisuri bermimpi sedang menggendong anak kecil. Ia pun memohon agar anak itu bisa diserahkan padanya. Tidak butuh waktu lama, harapan permaisuri terpenuhi.
Ia hamil dan melahirkan seorang putera, yang tumbuh menjadi sosok raja yang sangat bijaksana, sehingga disebut sebagai Giok Hong Siang Tee atau yang berarti Yang Tertinggi dari Segala yang Paling Tinggi.
Pada masa itu, anak laki-laki sangatlah didambakan, karena dianggap bisa melanjutkan takhta kerajaan. Oleh sebab itu, hari kelahiran Giok Hong Siang Tee dirayakan pada perayaan Imlek melalui sembahyang.
Awal mula berlangsungnya Imlek atau Tahun Baru China diyakini terjadi pada zaman Dinasti Shang pada 1600-1046 sebelum masehi (SM), sekitar 3.500 tahun lalu.
Di zaman itu, orang-orang mengadakan upacara pengorbanan sebagai bentuk menghormati dewa dan leluhur yang dilakukan setiap awal serta akhir tahun.
Momentum tersebut juga menjadi ritual untuk mempersembahkan korban kepada leluhur atau dewa, sekaligus menyembah alam sambil memberkati hasil panen pada pergantian tahun.
Kala itu, sejarah Imlek turut diwarnai dengan cerita legenda terkait serangan monster bernama Nian. Nian digambarkan sebagai monster kejam bergigi taring, pemakan hewan ternak, hasil bumi, sampai manusia.
Sosok Nian juga dianggap seperti 'monster tahunan' yang selalu menyerang kehidupan manusia setiap malam tahun baru.
Salah satu cara untuk mencegah serangan Nian yang menghancurkan harta benda, warga rela menghidangkan beberapa makanan di setiap pintu rumah untuk Nian.
Konon, menurut nasihat leluhur, monster Nian takut dengan suara keras (petasan) dan hal-hal berwarna merah.
Oleh sebab itu, orang-orang mulai memasang lentera merah dan gulungan kertas merah di setiap jendela serta pintu rumah mereka untuk mencegah Nian masuk.
Lalu, ada juga bambu bakar atau sekarang diganti dengan petasan untuk menakut-nakuti Nian. Hal ini dipercaya membuat Nian tidak pernah muncul lagi.
Baca Juga: Kumpulan Ucapan Imlek 2023 dalam Bahasa Mandarin Beserta Terjemahannya
Sama seperti masyarakat Tionghoa di negara lain, perayaan tahun baru Imlek juga dilaksanakan oleh masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia.
Di Indonesia, Imlek ditetapkan sebagai hari raya berdasarkan Penetapan Pemerintah No 2 Tahun 1946.
Namun, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum pada masa Presiden Soeharto dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Ia melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14/1967.
Baca Juga: Tahun Baru Imlek di Tengah Lonjakan Covid-19 di China, Warga Diimbau Tak Pulang ke Rumah Orang Tua
Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Barulah pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003, hingga saat ini tahun baru Imlek merupakan hari libur nasional.
Sumber : Kompas TV/Berbagai sumber
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.