“Kami pasti memahami itu ada undang-undang tersendiri, ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, tapi bagaimana proses perkembangannya itu yang tidak bisa diakses masyarakat,” ucapnya.
Kurnia menilai, soal perkembangan proses verifikasi faktual partai politik sebetulnya diperbolehkan disampaikan ke publik.
Hal itu mengacu pada Pasal 3 huruf f dan i dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang berkaitan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabel dalam penyelenggaraan pemilu yang dilakukan KPU.
“Dalam peraturan BKPP Nomor 2 tahun 2017, ada poin-poin tentang akuntabel, ada poin-poin tentang terbuka dan kepentingan umum yang semestinya bisa dikedepankan oleh KPU dalam konteks platform Sipol tersebut,” ujar Kurnia.
Baca Juga: KPU Buka Lowongan untuk Jadi Panitia Pemilu 2024, Begini Syarat dan Cara Daftarnya
Lebih lanjut, ia berpandangan ketika ada ruang tertutup dalam proses verifikasi partai politik, maka dapat membuka celah terjadinya praktik kecurangan.
Kurnia mencontohkan, praktik kecurangan yang dapat terjadi ialah tindakan suap terhadap penyelenggara pemilu agar partai politik yang tak memenuhi syarat dapat diloloskan.
Contoh lainnya, hal itu dapat membuat adanya kecurangan berupa intervensi dari struktural penyelenggara pemilu.
Misalnya, kata dia, intervensi dari Komisioner KPU Pusat kepada jajaran struktural KPU Daerah dengan memberikan ancaman seperti rotasi pegawai KPU di daerah hingga pengurangan anggaran.
Baca Juga: Daftar Petinggi PSI yang Mundur Jelang Pemilu 2024, Dua Orang Terbuka Dukung Anies Baswedan
“Misalnya KPU Pusat minta KPU Daerah untuk meloloskan partai-partai politik tertentu yang sebelumnya tidak memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat,” kata Kurnia.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.