"Personel Brimob pertama kali menembakkan gas air mata pada jam 22.08 yang diarahkan ke tribun selatan. Dan selanjutnya secara bertubi-tubi, tembakan (gas) air mata dilakukan sebanyak setidaknya 11 kali oleh tujuh orang yang berbeda. Penembakan berakhir pada jam 22.15," tulis TPF Aremania.
Berdasarkan keterangan saksi dan rekaman kejadian, TPF Aremania menyimpulkan bahwa personel Brimob dan Sabhara melakukan tindak kekerasan dengan sepengetahuan perwira kepolisian yang memimpin di lapangan.
Berdasarkan kesimpulan yang didapat, TPF Aremania pun mendesak pemeriksaan menyeluruh kepada seluruh personel dan perwira polisi yang bertanggung jawab saat Tragedi Kanjuruhan, termasuk Kapolda Jatim ketika peristiwa tragis itu terjadi.
TPF juga menuntut Komnas HAM melakukan penyelidikan pro justitia atas dugaan kejahatan kemanusiaan dalam tragedi 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan.
Terakhir, TPF mendesak dilakukannya autopsi ke semua korban tragedi dan menuntut negara memulihkan kerugian seluruh korban, baik material atau imaterial.
Baca Juga: TGIPF Bakal Serahkan Temuan Tragedi Kanjuruhan kepada Presiden FIFA
Sebelumnya seperti diberitakan Kompas.TV, perwakilan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang tergabung dalam TPF Aremania menyampaikan hasil investigasi mereka terkait Tragedi Kanjuruhan, Jumat (14/10).
TPF Aremania menemukan bahwa pihak keamanan sudah diperingatkan mengenai larangan penggunaan gas air mata jauh hari sebelum pertandingan. Namun, pihak keamanan tetap menembakkan gas air mata pada hari H pertandingan.
KontraS juga menemukan fakta bahwa kontrol petugas pengamanan dari personel Polri pada pertandingan itu bukan menjadi tanggung jawab panpel, tetapi di bawah rantai komando kepolisian.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.