JAKARTA, KOMPAS.TV - Polri memastikan gas air mata bukan senjata yang mematikan. Hal ini untuk menjawab penggunaan gas air mata yang disebut menyebabkan 131 orang meninggal dunia dalam Tragedi Kanjuruhan.
Untuk menguatkan pernyataannya, bahwa gas air mata tidak mematikan, Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo merujuk keterangan pakar dari Universitas Pertahanan dan Universitas Indonesia, serta Universitas Udayana.
Pertama, Dedi mengutip keterangan dari Guru Besar Taksikolgi Universitas Udayana Profesor I Made Agus Gelgel Wirasuta.
Berdasarkan Gelgel Wirasuta, gas air mata dapat menimbulkan perih mata, hidung dan mulut yang akan langsung bereaksi jika terpapar, namun tidak ada toksisitas yang mengakibatkan kematian.
"Profesor Made Gelgel menyampaikan dalam gas air mata tidak ada racun yang mengakibatkan matinya seseorang," kata Dedi, dikutip dari Antara, Senin (10/10/2022).
Dari hasil keterangan pakar dan para dokter, lanjut Dedi, gas air mata ini dampaknya terjadi iritasi pada mata, kulit dan pernafasan.
Ketika kena gas air mata mengenai mata, maka akan terjadi iritasi. Sama seperti ketika terkena air sabun, terjadi perih, tetapi beberapa waktu bisa sembuh dan tidak mengakibatkan fatal.
Baca Juga: Polri Akui Gunakan 3 Jenis Gas Air Mata di Tragedi Kanjuruhan, dari Skala Rendah hingga Paling Keras
Kemudian, mengenai penggunaan gas air mata dalam menghadapi kerumunan orang atau massa, Dedi mengutip Dr Mas Ayu Elita Hafizah, dosen Teknologi Pertahanan Universitas Pertahanan dan Universitas Indonesia.
Menurut Mas Ayu, gas air mata atau chlorobenzalmalononitrile (CS) hanya boleh digunakan oleh aparat penegak hukum di seluruh dunia, dan tidak boleh digunakan untuk peperangan.
Regulasi penggunaan gas air mata mengacu pada Protocol Geneva (Protokol Jenewa) tahun 1925 dan Chemical Weapon Convention (CWC) tahun 1993.
"(Regulasi) ini menjadi dasar penggunaan CS bagi kepolisian seluruh dunia, itu diperbolehkan, sama di Indonesia," katanya.
"Saya mengutip Profesor Made Gelgel, termasuk Dr Mas Ayu Elita, bahwa gas air mata atau CS ini dalam skala tinggi pun tidak mematikan," simpul Dedi.
Sejauh ini, kata Dedi, belum ada jurnal ilmiah yang menyebutkan gas air mata mengakibatkan fatalitas atau kematian seseorang.
"Sampai saat ini belum ada jurnal ilmiah menyebutkan bahwa ada fatalitas gas air mata yang mengakibatkan orang meninggal dunia," katanya.
Baca Juga: TGIPF Tragedi Kanjuruhan Ungkap Ada Pihak Tertentu yang Punya Kekuatan untuk Atur Pertandingan Malam
Mengenai 131 korban meninggal dunia dalam Tragedi Kanjuruhan usai tembakan gas air mata oleh pihak kepolisian, Dedi mengatakan, hal tersebut dikarenakan kekurangan oksigen.
"Penyebab kematian adalah kekurangan oksigen karena terjadi desak-desakan, terinjak-injak, bertumpuk-tumpukkan, mengakibatkan kekurangan oksigen di pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini jatuh korban cukup banyak, jadi perlu saya sampaikan seperti itu," ungkap Dedi.
Dipaparkan Dedi, dokter spesialis (paru, penyakit dalam, THT, dan mata) yang menangani korban baik yang meninggal dunia maupun luka-luka, tidak satu pun yang menyebutkan penyebab kematian korban adalah gas air mata.
Namun begitu, tim investigasi Polri masih bekerja di lapangan melakukan pendalaman, termasuk soal penggunaan gas air mata. Apabila ke depan ada jurnal ilmiah baru yang mengungkap bahaya penggunaan gas air mata, tentu akan menjadi acuan Polri dan tim investigasi yang dibentuk oleh Kapolri.
"Tentunya ini masih butuh pendalaman-pendalaman lebih lanjut. Apabila ada jurnal-jurnal ilmiah yang baru, temuan-temuan yang baru, tentu akan menjadi acuan bagi tim investigasi bentukan Bapak Kapolri yang masih terus bekerja dan menyelesaikan kasus ini sesuai dengan perintah Bapak Presiden," kata Dedi.
Sumber : Kompas TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.