Kompas TV nasional wawancara

Wawancara Khusus: LPSK Yakin Putri Candrawathi Bukan Korban Kekerasan Seksual, karena Ada Keanehan

Kompas.tv - 4 Oktober 2022, 07:10 WIB
wawancara-khusus-lpsk-yakin-putri-candrawathi-bukan-korban-kekerasan-seksual-karena-ada-keanehan
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo. (Sumber: Tangkapan layar YouTube Kompas TV)
Penulis : Hariyanto Kurniawan | Editor : Redaksi Kompas TV

JAKARTA, KOMPAS.TV - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tetap meyakini istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, bukan merupakan korban kekerasan seksual.

Seperti diketahui, Putri Candrawathi menarasikan dirinya merupakan korban kekerasan seksual dari Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang tewas di kediaman dinas Ferdy Sambo.

Namun LPSK tidak meyakini narasi tersebut.

Kepada Jurnalis KompasTV Dian Silitonga, Ketua LPSK Hasto Atmojo memaparkan ketidakyakinan lembaganya itu.

Dalam perbincangan dengan KompasTV, Hasto membeberkan sejumlah kejanggalan permohonan perlindungan yang diajukan Putri Candrawathi. Hasto pun menjelaskan alasan istri Ferdy Sambo sebagai pemohon paling unik.

Baca Juga: LPSK Sebutkan Keganjilan Laporan Kekerasan Seksual Putri Candrawathi: Luar Biasa Kalau Terjadi

Berikut wawancara khusus KompasTV dengan Ketua LPSK Hasto Atmojo.

Bagaimana kronologi Putri Candrawathi (PC) meminta LPSK untuk melindungi dirinya sebagai korban kekerasan seksual?

Sebenarnya pada waktu itu saya sedang cuti jadi saya baru pulang ke Indonesia tanggal 15 Juli. Jadi saya baru masuk kantor 18 Juli.

Saya kemudian minta laporan kepada para wakil ketua dan juga staf yang ada di kantor, karena sejak di masa cuti itu saya gelisah sekali, kok LPSK sudah memberikan perlindungan secara cepat begini? Kan saya merasa aneh. Karena upaya untuk melakukan investigasi dan sebagainya mestinya dilakukan lebih dulu, tapi kok ini cepat sekali.

Waktu itu saya sempat merisaukan juga. Akhirnya dari laporan itu yang saya terima, bahwa memang pada awalnya setelah pengumuman dari pihak kepolisian itu tanggal 11 kemudian LPSK melakukan koordinasi dengan kepolisian, baik Polres maupun Polda untuk menanyakan kejadian itu.

Memang LPSK berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi maupun Undang-Undang TPKS, dinyatakan dalam waktu 24 jam, negara harus hadir kepada korban. Dan itu kami memastikan kepada kepolisian, apakah sudah hadir, dan berikutnya kalau memang diperlukan kami akan ikut memberikan perlindungan pada saksi.

Tetapi kemudian belakangan dari waktu ke waktu, kami juga rapat, terus ini kok ada kejadian-kejadian yang cukup membuat kami ini ragu-ragu.

Pertama, ibu PC ini pernah ditemui pada tanggal 16 Juli, tapi sama sekali tidak bisa memberikan keterangan apa pun.

Pada waktu itu kami masih dalam keyakinan, oh ya pasti ini mengalami stres dan syok berat.

Karena tanggal 14 kan ada permohonan itu dari ibu PC. Berdasarkan permohonan itu akhirnya kami bertemu ibu PC. Tetapi sulit sekali untuk memberikan informasi dari yang bersangkutan.

Kemudian kami dalam perjalanannya melihat lagi, ini ada kejadian terbunuhnya seseorang tetapi laporan model A dari kepolisian itu hanya ada dua. Yang pertama, dugaan percobaan pembunuhan yang atas nama Bharada E ( Richard Eliezer) dan kemudian laporan tentang tindak pelecehan seksual.

Ini kan masih dugaan semua. Ada fakta bahwa ada orang meninggal, tetapi ini malah laporannya tidak ada. Nah ini yang kejanggalan pertama yang kami temukan pada waktu itu.

Kemudian belakangan, tanggal 20 Juli itu kami menerima surat permohonan dari Polres Jakarta Selatan yang isinya agar bisa memberikan perlindungan kepada Ibu PC sebagai korban tindak kekerasan seksual, padahal Ibu PC kan sudah mengajukan sendiri tanggal 14.

Tanggal 20 kami menerima rekomendasi dari Polres Jakarta Selatan yang tanggalnya dibuat tanggal 9 Juli.

Jadi ini juga aneh bagi kami, meskipun kami terimanya baru tanggal 20 tetapi surat itu sudah dibuat sejak tanggal 9, itu kan artinya sehari setelah peristiwa.

Ini yang kami terus dalami dan kami terus berusaha untuk menghubungi Ibu PC untuk bisa mendapatkan keterangan. Tetapi di samping itu, kami juga berkomunikasi dengan berbagai pihak baik dengan kepolisian maupun pihak-pihak lain untuk menggali informasi.

Dari informasi itu makin banyak informasi yang kami dapatkan terkait kejanggalan, misalnya pernyataan bahwa Bharada E ini seorang sniper. Kami menerima informasi, sebenarnya yang bersangkutan baru menerima senjata itu November tahun sebelumnya. Baru sekitar 6-7 bulan.

Dari beberapa latihan yang dilakukan itu dia tidak bagus-bagus betul kemampuan menembaknya. Kami berkeyakinan kalau terjadinya tembak menembak pasti Bharada E yang kena malah, karena (Brigadir) Yosua dinyatakan lebih baik kemampuan menembaknya.

LPSK melihat kasus ini secara holistis untuk menentukan, apakah betul PC mengalami kekerasan seksual. LPSK harus melihat fakta-fakta lain.


 

Saya mau pastikan beberapa hal, yang pertama masih soal kronologis, apakah betul sebelum LPSK menerima pengajuan perlindungan tanggal 14 Juli itu LPSK terlebih dahulu dipanggil oleh Ferdy Sambo ke kantornya di Divpropam Polri?

Karena saya belum ada, ya saya hanya tahunya bahwa ada pertemuan dengan Ferdy Sambo. Apakah itu dipanggil, apakah difasilitasi oleh Polda atau apa, saya kurang tahu. Tetapi tanggal itu memang terjadi pertemuan.

Apa Isi Pertemuannya?

Itu tadi yang saya sampaikan, bahwa Ferdi Sambo (FS) ini mengharapkan LPSK agar bisa memberikan perlindungan kepada istri maupun keluarganya dari pemberitaan media yang dianggap menyudutkan dan merugikan istri maupun keluarga dari FS.

Narasi itu juga yang disampaikan kepada LPSK bahwa Putri Candrawathi memang mengalami kekerasan seksual?

Iya.

Pak Hasto tadi menyampaikan bahwa dalam pertemuan pertama saja, Bu Putri sudah tidak mau bicara. Apakah sejak awal LPSK sudah menemukan atau berpendapat awal bahwa memang Bu Putri punya indikasi mengalami kekerasan seksual atau sejak pertemuan pertama LPSK belum bisa mengindikasikan Bu Putri?

Belum bisa. Karena waktu itu dalam pertimbangan kami Bu Putri masih dalam kondisi syok, masih kondisi stres, akibat peristiwa tindak pidana kekerasan seksual. Jadi kami menunggu agar Bu Putri ini sudah bisa memberikan keterangan.

Selama menunggu itu kami juga berkomunikasi dengan pengacaranya, kapan bisa dilakukan asesmen dalam bentuk permintaan keterangan maupun asesmen psikologis.

Jadi kesimpulan LPSK untuk menentukan adalah asesmen, tanggal 9 itu pertemuan terakhir kan atau ada pertemuan lain?

Iya pertemuan terakhir.

Saya ingat waktu awal Agustus itu juga LPSK kan tiga kali pemanggilan asesmen terhadap Putri Candrawathi. Nah, awal Agustus itu Putri tidak datang ke kantor LPSK, yang datang adalah tim kuasa hukum kemudian psikolog pribadi. Saya ingat mereka mengatakan meminta kepada LPSK supaya segera memberikan perlindungan tanpa diasesmen oleh LPSK. Kenapa LPSK menolak tawaran dari kuasa hukum?

Ya kami bukan tidak percaya pada psikolog, tetapi memang SOP kami begitu. SOP kami, LPSK harus melakukan asesmen psikologi, karena asesmen psikologis oleh LPSK itu bagian dari investigasi.

Jadi bukan hanya melihat kondisi psikologisnya saja, tetapi kami juga mencoba kondisi psikologis ini sebabnya apa. Kalau kami kemudian merujuk pada psikolog yang sudah melayani Ibu PC, ada bagian-bagian yang tidak kami ketahui.

Jadi tidak bisa digantikan asesmen LPSK dengan psikolog lain?

Iya.

Kalau tidak salah LPSK juga sempat bertemu dengan teman-teman di Polda Metro Jaya, itu juga berkaitan dengan permintaan supaya LPSK segera memberikan perlindungan dengan dasar Undang-Undang TPKS. Kita ketahui Komnas HAM memberikan rekomendasi bahwa Putri Candrawathi diduga memang korban kekerasan seksual atas dasar Undang-Undang TPKS, kenapa LPSK tidak ikut saran Polda Metro Jaya?

Pertemuan itu diinisiasi oleh Polda Metro Jaya memang, dan undangan itu bentuknya membahas tentang perlindungan saksi dan korban untuk korban tindakan kekerasan seksual jadi umum sekali.

Jadi kami ada dua orang staf kami yang ikut di pertemuan itu, tetapi ternyata pertemuan itu secara khusus memang ditujukan untuk membahas persoalan Ibu PC ini. Pak Wadir waktu itu (Wadirreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Jerry Raymond Siagian) meminta agar LPSK segera memberikan perlindungan berdasarkan perlindungan Undang-Undang TPKS.

Sebagian dari hadirin itu juga memang setengahnya merekomendasikan agar LPSK memberikan perlindungan. Ini juga buat kami sesuatu yang aneh juga. Jadi kami tampung lagi.

Tidak serta-merta langsung setuju ya pak?

Iya.

Apa pertimbangan LPSK pada saat itu? Karena ketika bapak melakukan konferensi pers, terkesan LPSK ini lambat sekali tidak mau memberikan perlindungan. Nah apa saja pertimbangan LPSK dalam kasus PC?

Sejak awal emang ada kejanggalan-kejanggalan yang kami coba rekonstruksikan. Akhirnya ketika setelah sebulan persis, memang tidak ada tindak pidana kekerasan yang dialami oleh Ibu PC ini di Duren Tiga. Kalau di tempat lain kami belum tahu.

Jadi ketika kami memutuskan untuk tidak memberikan perlindungan, kami juga menyatakan, kalau ada dinamika lain, apakah terjadi kekerasan seksual di tempat lain ya silakan saja bisa mengajukan lagi.

Baca Juga: Bersumber dari Keterangan Saksi dan Ahli, Komnas HAM Sebut Putri Candrawathi Alami Kekerasan Seksual

Ada hal krusial lain yang jadi pertimbangan LPSK? Karena kerap kali menyebutkan relasi kuasa dan unsur-unsur lainnya?

Ya memang kebiasaannya, kekerasan seksual itu manifestasi dari relasi kuasa. Relasi kuasa terjadi pada orang yang tersubordinasi. Jadi kepada guru dan murid, atasan dengan bawahan, kiai dengan santrinya, dan sebagainya. Itu kebanyakan begitu.

Tetapi untuk kasus ibu PC ini, kami juga membuka peluang selain relasi kuasa kan. Jelas Bu Putri yang ada di level atas, tetapi kami juga membuka kemungkinan relasi kuasa bisa terjadi secara berdasarkan gender. Kuasa laki-laki kepada perempuan. Itu barangkali bisa saja terjadi.

Tetapi yang lebih aneh lagi, karena biasanya kekerasan seksual itu dilakukan ketika tidak ada saksi, tidak ada kemungkinan orang di sekitar tempat itu.

Dalam peristiwa ini kan, itu di dalam satu rumah yang banyak orang ada di situ, juga kejanggalan yang kami pertimbangkan.

Saya harus tanyakan ini, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menyinggung soal ada mafia hukum yang ditemukan ketika proses perlindungan terhadap Putri Candrawathi, apakah LPSK melihat hal itu? Apa maksudnya ini mafia hukum?

Kami belum sampai pada pembicaraan itu. Barangkali bisa ditanya ke Pak Edwin. Mungkin Pak Edwin akan melaporkan. Karena Pak Edwin ini kebetulan yang bertanggung jawab untuk penelaahan permohonan. Barangkali ada informasi yang dia dapat, tapi belum sempat dilaporkan kepada pimpinan. Bisa saja. Tetapi LPSK belum sampai pada kesimpulan itu.

Kemudian bertemu dengan Ferdi Sambo di awal, bertemu dengan Polda Metro Jaya, diminta untuk segera memberikan perlindungan, apakah ini bagi LPSK termasuk tekanan-tekanan? Seperti apa LPSK melihatnya?

Akhirnya kami juga melihat bahwa ini ada upaya setting tertentu dan akan menempatkan LPSK dari bagian itu. Jadi kami menjaga itu.

Apa rahasianya LPSK tidak terpengaruh sama sekali?

Karena semua menunjukkan kejanggalan bagi kami, dan sesuai dengan undang-undang yang kami pakai sebagai rujukan, itu tidak proper.

Tidak goyang ketika Komnas HAM memberikan rekomendasi bahwa Putri Candrawathi ini diduga merupakan korban kekerasan seksual atas dasar Undang-Undang TPKS, LPSK tetap pada kesimpulan?

Kami juga kan menggunakan Undang-Undang TPKS ketika pertama kali berkomunikasi dengan pihak kepolisian. Di Undang-Undang TPKS dinyatakan dalam waktu 24 jam negara harus hadir. Tetapi fakta yang kami temukan tidak demikian.

Kalau Komnas HAM saya tidak tahu, tetapi kami merasa kami mempergunakan rujukan Undang-Undang Perlindungan Saksi maupun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai panduan kami.

Ada statement juga dari Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi, bahwa Ibu PC ini termasuk pemohon yang unik sejak LPSK berdiri. Apa maksudnya itu?

Saya kira itu pernyataan yang dalam arti seringkali ada pemohon yang memang aneh-aneh di LPSK ini, salah satunya Ibu PC. Karena sebenarnya bukan hanya Ibu PC banyak juga yang mengajukan, tapi menunjukkan keanehan.

Ibu PC ini kan mengajukan permohonan tanggal 14 Juli, 16 Juli ditemui, tidak bisa dimintai keterangan. Sampai kemudian satu bulan tidak bisa digali keterangan apa pun.

Permohonan Ibu PC ini kan untuk perlindungan fisik, perlindungan prosedural, rehabilitasi psikologis, dan perlindungan hukum. Nah itu kan menunjukkan kegentingan.

Ada perlindungan fisik yang diminta, tetapi tidak segera menghubungi LPSK. Ada perlindungan prosedural, tidak segera menghubungi LPSK. Ada perlindungan rehabilitasi psikologis, tetapi tidak bisa ditemui untuk asesmen. Jadi ini keanehannya.

Kami kemudian berpikir bahwa mungkin Ibu PC ini tidak memerlukan perlindungan dari LPSK, atau bahkan permohonannya ini tidak dilakukan oleh Bu PC sendiri. Jadi itu saja.

 




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x