JAKARTA, KOMPAS.TV - Hari ini 12 Agustus merupakan peringatan hari lahir proklamator kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta ke-120. Wakil Presiden pertama ini lahir pada 12 Agustus 1902 di di Bukittinggi, Sumatera barat.
Sifat menonjol yang sering jadi pembicaraan dari Hatta adalah sikapnya yang sederhana, jujur dalam bertindak namun kuat dalam memegang prinsip. Banyak kisah diceritakan tentang pribadinya sejak muda hingga akhir hayatnya. Kisah itu terus ditulis dan dikisahkan, namun keharuan dan teladannya tak pernah luntur.
Baca Juga: Selain Proklamasi, Ada 10 Pahlawan Nasional Lahir Agustus, dari Mohammad Hatta hingga Ibu Tien
Salah satu kisah kecil yang membuat banyak orang terharu, yakni saat dia berkeinginan membeli sepatu Bally. Namun sayang, uangnya tak cukup.
Harian Kompas, 25 April 2002 menuliskan, karena harganya yang mahal, Bung Hatta harus menabung untuk bisa membeli sepatu impiannya itu.
Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau membantu kerabat dan kawan yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan.
Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally buatan luar negeri itu tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi. Tak lama setelah wafat, keluarga Bung Hatta menemukan lipatan guntingan iklan lama dalam dompetnya. Iklan itu adalah iklan sepatu merek Bally, yang dulu disimpannya.
Kisah lain, istrinya, Rahmi, menginginkan membeli mesin jahit saat Mohammad Hatta jadi wapres pada tahun 1950. Sang istri pun berhemat dan menabung. Namun, setelah uang terkumpul dan hampir mencukupi untuk membeli mesin jahit, tiba-tiba datang pengumuman bahwa Pemerintah RI menerbitkan kebijakan sanering atau pemotongan nilai uang. Nilau uang diturunkan hingga tinggal 10 persennya. Maka, Rp1.000 menjadi Rp100 dan seterusnya. Tujuannya untuk mengatasi kondisi ekonomi yang memburuk waktu itu.
Kepada suaminya, Rahmi pun berkeluh kesah. ”Pak, Bapak kan Wakil Presiden. Bapak pasti tahu bahwa pemerintah akan mengadakan sanering. Mengapa Bapak tidak memberi tahu kepada ibu?”
Hatta pun menjawab, ”Bu, itu rahasia negara. Kalau Bapak beritahu pada ibu, berarti itu bukan rahasia lagi,” katanya.
Saat tak menjabat lagi, Hatta pernah diangkat oleh Komisi Empat menjadi penasihat Presiden Soeharto pada 31 Januari 1970 yang bertugas dalam urusan pemberantasan Korupsi.
Namun karena adanya kontroversi, komisi tersebut dibubarkan oleh Presiden Soeharto dan hanya diizinkan untuk mengusut 2 kasus korupsi saja.
Di akhir hayatnya, pemegang Bintang Republik Kelas 1 ini sangat berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Namun, ia meninggalkan amanat agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Harian Kompas, 15 Maret 1980 memberitakan, keinginan Bung Hatta yang diwasiatkan adalah dimakamkan di Jakarta.
Saat meninggal pada 14 Maret 1980, akhirnya pemerintah memilih pemakaman umum Tanah Kusir sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Keputusan tersebut dikeluarkan setelah mempertimbangkan rencana jangka panjang kompleks pemakaman umum Tanah Kusir yang tidak akan digusur lagi. Meski dimakamkan di TPU Tanah Kusir, upacara kenegaraan masih tetap dilakukan.
Baca Juga: Kisah Mohammad Hatta Zaman Kolonial, Diasingkan dan Pindah ke "Rumah Setan" tanpa Diganggu
Iwan Fals kala itu mengabadikan kepergian sang proklamator lewat lagu berjudul "Bung Hatta": Petikan liriknya berbunyi:
Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu
Terbayang baktimu terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga berkafan doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.