JAKARTA, KOMPAS.TV - Psikolog Forensik Reza Indragiri menilai penanganan kasus Brigadir J atau kasus meninggalnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat pada Jumat (8/7/2022) yang berkepanjangan terkendala oleh faktor-faktor nonteknis.
"Tegasnya, faktor-faktor organisasi dari dalam tubuh Polri sendiri yang berusaha membiarkan ke sana, yang berusaha menyimpangkan ke sini," kata Reza di Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Jumat (5/8/2022).
Ia mengaku sepakat dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menko Polhukam) Mahfud MD bahwa ada unsur psiko-hierarki dan psiko-politik dalam penanganan kasus penembakan polisi yang terjadi di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo itu.
"Psiko-hierarki dan psiko-politik yang diungkapkan oleh Pak Menko Polhukam mengingatkan saya pada istilah code of silence, atau kode senyap," ujarnya.
Ia menerangkan, kode senyap ialah subkultur menyimpang yang ditandai oleh kecenderungan sesama personel polisi untuk menutup-nutupi kesalahan atau aib mereka.
"Tidak hanya berlangsung di satu atau dua institusi kepolisian saja, tapi ini merupakan sebuah fenomena," ujarnya.
Baca Juga: Psikolog Forensik: Bharada E Bisa Dikenakan Pasal Pembunuhan Berencana Jika...
Sedangkan psiko-politik, menurut Reza, berkaitan dengan adanya klik atau geng atau subgrup di dalam organisasi kepolisian.
"Jadi ada sub-sub Mabes di dalam Mabes Polri itu sendiri," ujarnya.
Ia menyebut, kode senyap dan "geng-geng" yang ada di dalam organisasi kepolisian itu seringkali bertolak belakang dengan arah dan kebijkan resmi organisasi.
"Mereka seperti duri di dalam daging, menjadi pengganggu," kata Reza.
Oleh karena itu, ia menilai fenomena tersebut sebagai tantangan besar Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam meningkatkan solidaritas internal Polri.
"PR (pekerjaan rumah -red) bagi Korps Tribrata, bukan hanya mengungkap kasus ini, bukan hanya pada aspek pidananya, tapi bagaimana melakukan pembenahan organisasi secara besar-besaran guna mengikis kode senyap dan membasmi berbagai klik yang mengganggu di dalam institusi kepolisian itu sendiri," ujarnya.
Baca Juga: Eks Wakabareskrim Polri: Bharada E Harusnya Bisa Ditetapkan Tersangka sejak Awal, Peristiwanya Jelas
Menurut dia, kekuatan untuk menghilangkan kode senyap itu berada di tangan pimpinan Polri dan Presiden, karena masyarakat tidak bisa berbuat banyak.
"Masyarakat tampaknya tidak bisa berbuat banyak terkait dua hal ini, sungguh-sungguh marwah pimpinan Polri dan Presiden RI yang akan bisa menjadi penentu seberapa jauh kode senyap dan klik-klik dalam organisasi Polri bisa dikelola semaksimal mungkin," ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.