Kompas TV nasional peristiwa

ICW Beberkan Hasil Identifikasi Persoalan Serius dalam RKUHP

Kompas.tv - 2 Agustus 2022, 15:41 WIB
icw-beberkan-hasil-identifikasi-persoalan-serius-dalam-rkuhp
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana (Sumber: Tangkapan Layar KompasTV)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Purwanto

JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengidentifikasi sejumlah persoalan serius terkait pemberantasan korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Pernyataan itu disampaikan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada KOMPAS TV, Selasa (2/8/2022).

“Selain aspek formil, ranah materiil di dalam naskah RKUHP per 4 Juli 2020, khususnya berkaitan dengan pemberantasan korupsi mengandung sejumlah masalah mendasar. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengidentifikasi sejumlah persoalan serius,” ucap Kurnia.

Pertama, kata Kurnia, soal hukuman pelaku korupsi dikurangi baik hukuman pokok berupa pidana badan maupun denda.

Antara lain, Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Aturan ini ternyata memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun, menjadi 2 tahun penjara.

Baca Juga: ICW: Pemerintah Lemahkan Efek Jera Bagi Pelaku Korupsi Melalui RKUHP

“Tidak cukup itu, denda minimalnya pun serupa, turun dari Rp 200 juta menjadi hanya Rp 10 juta,” kata Kurnia.

Lalu, Pasal 608 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Menurut Kurnia, sekalipun pidana badan mengalami kenaikan dari 1 tahun menjadi 2 tahun penjara, namun tidak sebanding dengan subjek hukum pelaku, yakni pejabat publik.

“Ini sekaligus upaya menyamakan hukuman antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik tertentu,” ujarnya.

Kemudian, Pasal 610 ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor.

Terkait pasal ini, Kurnia menilai hampir serupa dengan ketentuan lain, hukuman yang ditujukan kepada penerima suap ini pun mengalami penurunan, dari 5 tahun menjadi 4 tahun penjara.

Baca Juga: Azyumardi Azra: Pasal-Pasal di RKUHP Banyak yang Mencerminkan Neokonservatisme

“Untuk hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp250 juta menjadi Rp200 juta,” ucap Kurnia.

Bagi ICW, kata Kurnia, spesifik menyangkut hukuman denda, penting disampaikan bahwa salah satu pidana pokok tersebut masih terbilang rendah di dalam naskah RKUHP.

Bagaimana tidak, denda maksimal yang bisa dijatuhkan kepada pelaku hanya Rp 2 miliar.

“Berbeda jauh dengan UU tindak pidana khusus lain, seperti UU Narkotika atau UU Anti Pencucian Uang yang dendanya bisa mencapai Rp10 miliar,” kata Kurnia.

“Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, mestinya pidana denda dapat ditingkatkan.”

ICW lebih lanjut menyampaikan identifikasi kedua dari persoalan RKUHP adalah parsial memberatkan hukuman.

Baca Juga: RKUHP Atur Sanksi Pihak yang Abaikan Wajib Bela Negara, Mulai Penjara hingga Denda Rp500 Juta

Berdasarkan data KPK, tindak pidana suap mendominasi penanganan perkara di lembaga antirasuah itu selama lebih dari lima belas tahun terakhir (791 perkara). Ini mengartikan bahwa praktik kejahatan itu masih terus merajarela di Indonesia.

“Hanya saja, dalam naskah RKUHP, khususnya pasal yang berkaitan dengan pemberi suap, misalnya Pasal 610 ayat (1) masih mengikuti ketentuan lama, tanpa disertai pemberatan, yakni maksimal hanya 3 tahun penjara,” kata Kurnia.

“Ini menandakan pembentuk UU tetap mengikuti pola lama tanpa ada reformulasi yang berorientasi pada pemberian efek jera.”

Poin ketiga dalam identifikasi dari RKUHP yang juga disoroti ICW adalah ada yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi

Pada bagian penjelasan Pasal 607 RKUHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah berdasarkan hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan.

Baca Juga: RKUHP Atur Sanksi Hukum untuk Perzinaan, Kumpul Kebo Juga Dibui

Merujuk pada definisi itu, menurut pembentuk UU, pihak yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan.

“Jelas pembatasan aspek tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012,” ujar Kurnia.

“Bagaimana tidak, Mahkamah dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain.”

Tidak kalah pentingnya dalam identifikasi ICW terkait RKUHP adalah soal korupsi yang tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa

Dalam banyak literatur ditegaskan bahwa korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Baca Juga: Draf RKUHP Hukum 12 Tahun Penjara, dari Pejabat hingga Pengurus Panti Sosial yang Berbuat Cabul

Akibat penyebutan itu, maka ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum, satu diantaranya adalah pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum di dalam UU Tipikor.

“Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari RKUHP, misalnya, Pasal 610 ayat (2) terkait tindak pidana suap. Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku,” kata Kurnia.

Terakhir, ICW juga menyoroti soal RKUHP yang mengkriminalisasi kritik masyarakat dalam persidangan perkara korupsi

Sebagaimana diketahui, proses persidangan perkara korupsi belum banyak memberikan efek jera maksimal kepada pelaku. Alih-alih menghukum berat, berdasarkan catatan ICW, rata-rata hukuman pelaku pada tahun 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara.

“Sayangnya, naskah RKUHP justru ingin mereduksi kritik masyarakat dengan turut menyertakan ancaman pidana. Poin ini tertuang secara jelas dalam Pasal 280 huruf b RKUHP,” ucap Kurnia.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x