JAKARTA, KOMPAS TV - Sejumlah elemen mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus mendesak pasal terkait penghinaan presiden dihapus dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Diketahui, kini RKUHP masih dalam tahap pembahasan antara pemerintah dan DPR.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto menilai, keberadaan pasal tersebut diperlukan agar masyarakat dalam menyampaikan kritik tak kebablasan hingga menghina seorang presiden.
Baca Juga: Wamenkumham: Kami Tidak akan Menghapus Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP
Menurut dia, siapa pun presidennya nanti, yang bersangkutan tetap manusia dan memiliki hak yang sama di mata hukum bila dirinya merasa terhina atas ucapan atau perilaku dari seseorang.
"Presiden ini juga seperti itu. Beliau juga manusia, siapa pun presidennya kan manusia. Kalau dihina kemudian beliau tidak terima boleh enggak menuntut? Ya, boleh. Pake kuasa hukum, dirinya sendiri boleh kan gitu," kata pria yang karib disapa Bambang Pacul itu di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/6/2022).
Selain itu, pasal penghinaan presiden sudah pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji. Hasilnya, MK menyatakan ditolak.
Saat itu, MK memerintahkan pasal penghinaan terhadap pemerintah itu diubah dari delik biasa menjadi ke delik aduan.
“Kalau kau merasa dalam diri dikau hinaan ini tidak pantas untuk diterima, maka boleh dong menuntut,” ujarnya.
Sebelumnya, Koordinator Sosial Politik BEM UI Melki Sedek Huang mengungkapkan, dua pasal yang disorot oleh pihaknya yakni Pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKUHP.
Melki menuturkan, dua pasal tersebut diketahui luput dari pembahasan saat rapat terakhir antara DPR dan pemerintah.
Diketahui, pada Pasal 273 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara.
Artinya, kata Melki, pasal tersebut menyiratkan bahwa masyarakat perlu izin dalam melakukan penyampaian pendapat di muka umum agar terhindar dari ancaman pidana.
Menurut Melki, hal itu dinilai bertolak belakang dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang hanya mewajibkan pemberitahuan atas kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.
Baca Juga: ICJR: Pasal Penghinaan Presiden Bukan Hanya Soal Pidana, Perlu Sudut Pandang Lain
"Tak hanya itu, Pasal 273 RKUHP pun memuat unsur karet tanpa batasan konkret, yakni 'kepentingan umum', yang rentan disalahgunakan untuk mengekang kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum," kata Melki dikutip dari Kompas.com pada Selasa (21/6/2022).
Sementara itu, Pasal 354 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara melalui sarana teknologi informasi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.