JAKARTA, KOMPAS.TV - Setara Institute menilai keputusan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa untuk memperbolehkan keturunan PKI mengikuti tes penerimaan prajurit TNI tahun 2022 patut diberikan acungan jempol dan mendapat apresiasi tinggi.
Pasalnya, peristiwa 1965 sudah terjadi lebih dari 50 tahun. Sehingga, adalah tindakan irasional dan di luar perikemanusiaan apabila keturunan PKI tetap menanggung "dosa turunan" dan diperlakukan tidak setara sebagai warga negara.
Demikian pernyataan Wakil Ketua Badan Pengurus Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/4/2022).
“Sudah saatnya bangsa ini berdamai dengan sejarah masa lalu,” kata Bonar Tigor Naipospos.
Baca Juga: Jenderal Andika Perkasa Hapus Larangan Keturunan PKI jadi TNI, Pengamat: Ini Terobosan Cerdas
“Setiap warga negara apa pun latar belakang sosialnya, sepanjang tidak terlibat perbuatan melanggar hukum, berhak untuk menyumbangkan tenaganya menjadi bagian pertahanan Indonesia,” tambahnya.
Setara Institute berharap, kata Bonar, keputusan Panglima TNI hendaknya menjadi terobosan baru bagi bangsa ini dalam melakukan refleksi dan rekonsiliasi terhadap peristiwa 1965.
“Sudah saatnya mata rantai stigma dan banalitas diakhiri. Termasuk juga upaya untuk menjadikan peristiwa 1965 sebagai komoditi kelompok tertentu untuk menyudutkan kompetitor politiknya,” ujarnya.
Dalam keterangannya, Bonar menuturkan, Setara Institute juga meminta perhatian dari Panglima TNI terhadap keluhan dari kelompok penghayat kepercayaan yang ingin menyumbangkan tenaganya untuk menjadi prajurit TNI.
Baca Juga: Keturunan PKI Boleh Daftar TNI: Keputusan Panglima Andika Diharapkan Akhiri Diskriminasi
Sebab, dalam catatan Setara Institute, mereka yang merupakan keturunan kelompok penghayat kepercayaan, mengalami hambatan dan diskriminasi ketika hendak melakukan pendaftaran melalui formulir online.
“Dikarenakan di formulir tersebut tidak ada kolom agama dan keyakinan untuk penghayat (kepercayaan),” ucap Bonar.
“Sehingga kalau pun mereka bersikeras ingin menjadi prajurit TNI, mereka harus memilih agama dan keyakinan lain. Padahal di institusi pemerintah lain dan dan juga kepolisian, hambatan semacam itu tidak ditemukan,” tambahnya.
Baca Juga: Panglima TNI Utus Prajurit ke BNPT Bantu Cegah Terorisme, Ini Tugasnya
Bagi Setara Institute, lanjut Bonar, ketiadaan kolom untuk kelompok penghayat kepercayaan dalam formulir online untuk menjadi prajurit TNI jelas bertentangan dengan UUD Adminduk No. 24 Tahun 2013 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi November 2017 yang menyatakan warga negara berhak untuk mengisi kolom agama dan KTP sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
“Hendaknya Panglima TNI mengambil langkah perbaikan agar kelompok penghayat (kepercayaan) memiliki peluang dan kesempatan yang sama sebagai warga negara untuk menjadi prajurit TNI,” ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.