JAKARTA, KOMPAS.TV - Sejak diusulkan pada 2004 silam, nasib Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT), sampai kini belum jelas.
Perjalanan beleid yang mengatur nasib para pembantu rumah tangga ini tak semulus RUU Cipta Kerja atau RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yang dikerjakan secepat kilat.
RUU yang sudah berumur 18 tahun ini, telah dilakukan studi riset di sepuluh kabupaten/kota, uji publik di tiga kota, hingga studi banding ke dua negara. Baru pada 2013, draf RUU Perlindungan PRT akhirnya diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Namun sampai saat ini, setidaknya ada dua partai besar yang belum memberi dukungan, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Golkar.
Tak kunjung tuntasnya RUU yang sebenarnya tak terkait dengan isu politik elektoral ini, membuat sejumlah tokoh agama melakukan dorongan.
“UU PPRT memaksa kita menjalankan perintah agama yaitu memanusiakan manusia baik PRT maupun yang pemberi kerja. Jadi bukan saja ini urusan pemerintah dan legislatif, tetapi untuk urusan masyarakat,” kata KH Zulfa Mustofa mewakili PBNU dalam Webinar #SahkanRUUPPRT dan Launching Gerakan Pukul Panci Nurani yang diadakan pada Minggu (9/1/22) dan dihadiri 7 perwakilan agama.
Baca Juga: NU Desak Pemerintah Sahkan UU PPRT untuk Lindungi Profesi Pekerja Rumah Tangga
Menurut Zulfa, puncak kesalehan pribadi ditunjukkan dengan adanya dua sifat yaitu adil dan beradab sebagaimana bunyi sila kedua.
Sementara Rohim Ghozali dari PP Muhammdiyah menguatkan apa yang dikatakan Zulfa bahwa keadilan itu bisa dinilai dengan cara kita memperlakukan PRT terkait kelayakan upah, jam kerja, hak istirahat dan pemberian asuransi.
“Kita dilahirkan sama, yaitu sebagai manusia merdeka dari rahim ibu kita masing-masing. Muhammadiyah mendukung RUU PPRT yang meletakkan pemberi dan penerima kerja dalam posisi yang setara,” tegas Ghozali dalam orasinya.
Senada dengan pandangan Islam, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, M.Th. menegaskan bahwa PRT sebagaimana masyarakat tersisih lainnya adalah merupakan citra (Imago Dei) sebagaimana disebutkan di Surat Mathius ayat 31 sampai 46.
"Siapa memperlakukan PRT dengan baik, maka ia memperlakukan Tuhan dengan baik dan sebaliknya. Negara harus melembagakan agar perilaku kita mengikuti tuntunan akhlak baik tersebut,” jelas Pdt. Gomar.
sebelumnya, Rm Eka Aldianta OCARM yang menjabat sebagai Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI juga setuju adanya UU Perlindungan PRT.
“Ini ada isu relasi ekonomi dan sosial dalam rumah tangga yang bisa saling tumpang tindih sehingga memang harus diatur oleh negara yang bisa merendahkan martabat manusia,” jelasnya.
Baca Juga: DPR Didesak Segera Mengesahkan RUU PRT
Liem Lillyani Lontoh sebagai Ketua Matakin DKI, merujuk filosofi yin dan yang untuk menguraikan alasan agama Khong Hu Chu mendukung pengesahan RUU Perlindungan PRT.
Sementara Ketua MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia), Naen Soeryono, mendukung RUU Perlindungan PRT karena kondisi PRT perempuan saat ini masih kerap menjadi objek kekerasan seksual, ekonomi maupun politik.
Hal itu, kata Naen, karena belum adanya pengakuan negara atas profesi mereka sebagai pekerja.
Sementara Romo Miswanto, Sekretaris Bidang Keagamaan dan Spiritualitas PHDI (Parisada Hindu Darma Indonesia), menjadikan isu gender sebagai pertimbangannya mendukung RUU Perlindungan PRT.
"Kesejahteraan perempuan merupakan ukuran kesejahteraan bangsa atau raja. Lima juta PRT tidak sejahtera maka tidak sejahtera pula bangsa kita dan kelak para pemimpin bangsa harus mempertanggungjawabkannya di akhirat,” jelas Romo Miswanto.
Usai orasi, para pemimpin agama memukul panci masing-masing sebanyak 18 kali sebagai simbol 18 tahun perjuangan RUU Perlindungan PRT yang belum usai.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.