JAKARTA, KOMPAS.TV – Tim Kuasa Hukum tiga anak diduga korban kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan menilai pihak kepolisian tidak memiliki perspektif perlindungan korban dalam menangani kasus kekerasan seksual anak.
Hal itu misalnya dilakukan Polres Luwu Timur dengan mendatangi langsung rumah korban sehingga menyebabkan terbukanya identitas para korban.
Padahal, kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Muhammad Haedir, identitas korban dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak benar-benar harus menjadi perhatian dan harus dilindungi oleh penegak hukum.
Tim Kuasa Hukum mengungkap, Kepolisian misalnya datang pada Kamis tanggal 7 Oktober 2021, siang hari. Tim dari penyidik Polres Luwu Timur dan petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu Timur mencoba menemui para korban dengan alasan mengecek kondisi mereka. Namun, upaya tersebut dihalangi oleh pihak keluarga.
Esoknya, pada 8 Oktober 2021, malam hari, tim dari Polres Luwu Timur yang dipimpin Kapolres memakai seragam lengkap mendatangi kembali dan menemui ibu korban. Ibu korban yang saat itu tanpa ditemani kuasa hukum, diminta bicara dengan direkam keterangannya untuk “menjelaskan ke media supaya tidak ada kesimpangsiuran berita”.
“Kedatangan ini diikuti dengan beredarnya pemberitaan dan foto ibu korban bersama Kapolres, yang disebut-sebut bahwa ibu korban berjanji akan membawa bukti ke Polres Luwu Timur,” papar Haedir.
Kemudian pada 9 Oktober 2021, malam hari, tim dari Polres Luwu Timur mendatangi kediaman kerabat ibu korban untuk membahas soal ramainya “fakta yang tidak berimbang” dalam pemberitaan kepada keluarga besar korban.
Pada tanggal 10 Oktober 2021, pukul 10 pagi, tiga orang dari P2TP2A Luwu Timur kembali mendatangi pihak korban dengan alasan untuk mengambil data. Namun, ibu korban menolak kedatangan mereka dan menyuruh mereka pulang. Ibu korban sempat menegur salah satu dari orang yang datang karena mengambil gambar/video ibu korban secara diam-diam.
Tim advokasi sekaligus tim kuasa hukum yang terdiri dari LBH Makassar dan LBH Apik menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh P2TP2A Luwu Timur dan Polres Luwu Timur, yang mendatangi pihak korban.
Baca Juga: Tagar #PercumaLaporPolisi yang Viral karena Kasus Luwu Timur, Harus Jadi Momentum Pembenahan Polisi
“Kedatangan pihak tersebut lagi-lagi menyalahi prinsip perlindungan terhadap anak korban,” papar Haedir.
Haedir menyatakan, Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur seharusnya memahami bahwa kedatangan mereka beserta publikasi dan peliputan oleh media telah menyalahi prinsip perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yakni hak atas kerahasiaan identitas.
Haedir menyebutkan sejumlah pasal yang mengatur mengenai perlindungan identitas anak. Misalnya Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan."
Larangan membuka identitas anak korban juga ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Identitas sebagaimana dimaksud meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak,” paparnya.
Baca Juga: Tim Khusus Polri Audit Kinerja Polres Luwu Timur Soal Kasus Dugaan Pemerkosaan Ayah Terhadap Anaknya
Tim advokasi mengingatkan bahwa mereka menolak penghentian penyelidikan kasus karena ada dugaan kuat kesalahan prosedur oleh Polres Luwu Timur dan P2TP2A. Karena itu tidak semestinya kedua pihak tersebut menemui pelapor atau korban.
Tim juga membantah keterangan P2TP2A Luwu Timur yang secara serampangan menilai hubungan para korban dan ayahnya sebagai terduga pelaku baik-baik saja hanya karena interaksi saat dipertemukan di kantor P2TP2A Luwu Timur, Oktober 2019.
Laporan P2TP2A menjadi salah satu dasar polisi menghentikan kasus ini. Padahal menurut tim kuasa hukum, kesimpulan tersebut berbahaya dan menyesatkan. Sebab menurut pemeriksaan psikolog di Makassar kepada para korban, tidak adanya trauma dalam pertemuan itu bukan berarti kekerasan seksual tidak pernah terjadi.
“Terlebih pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekat korban, yang umumnya tidak melakukan perbuatannya dengan cara-cara kekerasan, melainkan bujuk rayu, tipu muslihat, atau manipulasi,” paparnya.
Di sisi lain, dalam dokumen hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur sendiri justru terdapat keterangan para anak korban yang menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dialami. Sama halnya dalam Visum et Psychiatricum (VeP) terhadap para anak korban, masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor.
Keterangan para korban dalam dua dokumen tersebut justru diabaikan oleh penyidik Polres Luwu Timur dan prosesnya selanjutnya resmi dihentikan pada 19 Desember 2019.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.