Pertama, pengertian tersebut mengandung makna dalam konteks terorisme, aspek politik, ideologi ataupun agama tidaklah semata-mata ditempatkan sebagai motif, tetapi sebagai tujuan.
Baca Juga: Menkopolhukam Mahfud Pastikan Penindakan Teroris KKB Tidak Menyasar Masyarakat Sipil
Menurutnya, hal itu harus dibedakan dari gerakan atau perjuangan pembebasan yang motifnya adalah politik.
“Perbedaan antara motif dan tujuan ini harus dibuktikan secara jelas. Bila memakai frasa ‘dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan’, maka penegak hukum akan kesulitan untuk membuktikan keseluruhan unsur motif tersebut,” ujarnya
Kedua, terkait kejelasan dan ketegasan, terdapat frasa 'yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal'.
Frasa ini menurut Filep, sangat kabur dan bias dan cenderung menimbulkan multitafsir, karena sesungguhnya akibat dari terorisme tidak dapat dipersempit hanya pada perbuatan yang mengakibatkan korban dalam jumlah banyak.
Baca Juga: Khawatir Perubahan Status Teroris untuk KKB, Komnas HAM Ajak Selesaikan Konflik dengan Dialog Damai
Belum lagi bila kategori ‘banyak’ itu dipersoalkan secara kuantitatif. Dalam hukum, ada asas lex certa, lex stricta, lex scripta. Hukum itu harus jelas dan tegas, tertulis, atau artinya tidak multitafsir.
“Hal ini berarti tindakan pelabelan terorisme terhadap organisasi tertentu, berpotensi menimbulkan kesimpangsiuran penegakan hukum dan bisa jadi pelanggaran HAM baru,” ujarnya.
Berdasarkan kedua hal di atas, Filep menggarisbawahi pemikiran dalam memberi label teroris seharusnya diikuti dengan pendekatan HAM agar pemberantasan terorisme tidak sekadar mengedepankan aspek represif semata.
“Papua sudah terlalu sering mengalami represi sejak dulu. Celakanya, semua bentuk represi itu tidak pernah selesai, minimal oleh pengadilan HAM,” ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.