JAKARTA, KOMPAS.TV - 17 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2004, empat orang kawan karib SMA yang bertemu kembali seusai menuntaskan pendidikan sarjana memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok musik.
Grup musik yang mulanya digagas oleh Noe, Ary, Patub, dan Dedy ini kelak dikenal dengan nama Letto.
Letto dengan cepat memperoleh popularitasnya di kancah musik Indonesia. Salah satunya melalui lagu Ruang Rindu yang dirilis pada tahun 2005.
Lagu ini dijadikan soundtrack sinetron Intan dan dirilis sebagai novel dengan judul yang sama oleh Gagas Media di tahun 2007.
Popularitas Letto terus menanjak dengan dirilisnya berbagai lagu hits lainnya mulai dari Sebelum Cahaya (2007), Permintaan Hati (2008), dan Lubang di Hati (2009). Desember 2020 lalu, Letto yang kini beranggotakan 6 orang dengan masuknya Cornel dan Widi, kembali merilis single terbaru mereka berjudul “Fatwa Hati”.
Baca Juga: Lirik Lagu dan Kunci Gitar | Ruang Rindu - LETTO
Terkait musik, KOMPAS TV berkesempatan berbincang dengan Sabrang Mowo Damar Panuluh atau dikenal juga sebagai Noe, vokalis dari Letto.
Lulusan University of Alberta, Kanada, ini mengatakan bahwa musik sebenarnya tidak memiliki makna, baginya, musik adalah noise atau suara atau kebisingan yang teroganisir.
“Frekuensinya terorganisir, waktunya terorganisir, sehingga seolah-olah menjadi simfoni yang bercerita tentang sesuatu,” kata Noe Jumat (16/4/2021) lalu.
Bagi Noe, makna dapat ditemukan dalam kata-kata. Sebaliknya, apa yang membuat musik menarik adalah bagaimana musik bisa memimbulkan banyak rasa melalui suara yang terorganisir tadi.
“Semua transmisi dari sesuatu ada jembatan dan mediumnya, makna itu gagasan mediumnya pakai bahasa, diksi atau pemilihan kata dapat menambah nuansa dari makna,” kata Noe.
Baca Juga: Lady Gaga, Adam Driver Hingga Jared Letto akan Bintangi Film Gucci
Putra Emha Ainun Najib atau Cak Nun ini mengatakan justru karena musik dapat membawa rasa tanpa memiliki makna itulah yang membuat musik menarik.
“Jika musik itu sendirian maka tidak ada maknanya, tapi bisa dirasakan, apakah ini musik sedih atau musik senang, musik semangat, orang bisa merasakannya,” jelas Noe.
Ia menggambarkan musik seolah memberikan “ilusi” yang luar biasa. Ia memberi contoh jika menonton film, agar makna cerita dapat disampaikan dengan baik ke penonton, maka musik sangat dibutuhkan untuk membantu memaknai suatu kejadian.
“Film itu tanpa soundtrack atau scoring bakalan garing banget,” kata Noe sambil tertawa.
Noe yang pertama kali tertarik pada musik melalui lagu-lagu dari Queen ini mengutarakan bahwa manusia dapat terkoneksi melalui musik.
“Film tanpa musik rasanya tidak akan terlalu nyampe, secara psikologi kita harus bisa memaknai sesuatu melalui konklusi rasa terlebih dahulu tentang apa yang terjadi. Itu yang bisa dilakukan oleh musik dan tidak bisa dilakukan oleh bahasa,” kata Noe.
Karena itulah bagi Noe, bahasa paling efektif untuk menyampaikan rasa yaitu melalui musik.
Pada tahun 2012 lalu, Letto memiliki program musik edukasi yang dilaksanakan selama 30 hari selama Ramadan di sekolah-sekolah dan universitas di sekitar Jakarta.
Di sana, Noe dan anggota Letto lainnya berbagi dengan para siswa mengenai konsep kreativitas. Seperti apa bentuk kreativitas, metodenya, dan bagaimana pendekatannya.
Setelahnya, selain di Jakarta, acara tersebut juga digelar di sejumlah daerah mulai dari Tasikmalaya, Purworejo, dan di wilayah Sulawesi.
“Saat Ramadan jadi sekalian ngabuburit, siswanya senang, kami senang, sekolahnya senang,” kata Noe.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.