JAKARTA, KOMPAS TV - Aktivis hak asasi manusia (HAM), Veronica Koman, mengungkapkan pemerintah Indonesia memintanya untuk mengembalikan uang beasiswa senilai Rp 773 juta.
Uang ratusan juta itu diketahui pernah diterima Veronica Koman untuk menempuh jenjang pendidikan master di Australia pada 2016.
Permintaan pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan untuk mengembalikan uang beasiswa disebut Veronica sebagai hukuman finansial.
Menurutnya, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penekanan agar dirinya berhenti berbicara dan mengadvokasi mengenai isu HAM di Papua.
“Hukuman finansial upaya terbaru untuk menekan saya agar berhenti melakukan advokasi soal HAM Papua,” kata Veronica Koman melalui keterangan resminya yang diterima di Jakarta pada Rabu (12/8/2020).
Hukuman kali ini merupakan keempat kalinya yang didapat Veronica. Sebelumnya, Veronica mendapat sejumlah sanksi dan hukuman lain, termasuk upaya kriminalisasi dari pemerintah Indonesia.
Tak hanya itu, pemerintah juga sempat mendesak Interpol untuk mengeluarkan red notice terhadap dirinya. Juga ada ancaman untuk membatalkan paspornya.
"Kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa sebesar IDR 773,876,918 yang pernah diberikan pada September 2016," ujar Veronica.
Lebih lanjut, Veronica mengatakan, alasan pemerintah meminta kembali uang beasiswa itu karena dirinya dianggap tidak mematuhi ketentuan untuk kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan masa studi.
Tapi, klaim tersebut buru-buru dibantah oleh Veronica Koman. Dia mengaku sempat pulang ke Indonesia pada 2018 usai lulus dari studi Program Master of Laws di Australian National University.
Namun, Veronica saat itu tak ke Jakarta. Melainkan ke Jayapura untuk melakukan sejumlah advokasi terkait isu HAM di Papua.
Setahun kemudian atau pada Maret 2019, Veronica juga pulang ke Indonesia setalah mengunjungi Swiss untuk berbicara di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Selanjutnya, Veroica mengaku memberi bantuan hukum pro-bono kepada para aktivis Papua di tiga pengadilan berbeda di Timika, Papua.
Menurut Veonica hukuman finansial yang ditujukan kepadanya menunjukkan Kemenkeu telah mengabaikan fakta, bahwa dirinya sempat kembali ke Indonesia setelah lulus masa studi.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga mengabaikan fakta bahwa dirinya telah menunjukkan keinginan kembali ke Indonesia. Namun, dengan catatan bebas dari segala tuduhan dan ancaman.
Lebih lanjut, Veronica mengatakan, dirinya tercatat dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada Agustus 2019.
Kala itu, ia memanfaatkan visa tiga bulan saat tengah berada di Australia untuk menghadiri prosesi wisuda.
"Ketika berada di Australia pada Agustus 2019, saya dipanggil oleh kepolisian Indonesia. Saya ditempatkan dalam daftar pencarian orang (DPO) pada September 2019," katanya.
Mendapat status sebagai DPO, tak membuat Veronica diam. Veronica mengaku tetap bersuara untuk melawan narasi yang dibuat aparat ketika internet dimatikan di Papua.
“Saya waktu itu tetap memposting foto dan video ribuan orang Papua yang masih turun ke jalan mengecam rasisme dan meminta referendum penentuan nasib sendiri," ujar dia.
Karena itu, Veonica menuliskan sebuah surat yang ditujukan kepada Kementerian Kuangan, terutama Sri Mulyani agar bersikap adil dan netral.
“Melalui surat ini, saya meminta kepada Kemenkeu terutama Menteri Sri Mulyani untuk bersikap adil dan berdiri netral dalam melihat persoalan ini,” kata Veronica.
“Sehingga tidak menjadi bagian dari lembaga negara yang hendak menghukum saya karena kapasitas saya sebagai pengacara publik yang memberikan pembelaan HAM Papua."
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.