JAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus demam berdarah dengue atau DBD di Indonesia tengah mengalami kenaikan baru-baru ini.
Hingga bulan Maret 2024, total kasus DBD dilaporkan mencapai 35.556 kasus dengan jumlah kematian 290.
Jika dibandingkan tahun 2023 pada periode sama, angka tersebut diketahui lebih tinggi atau mengalami kenaikan.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk tersebut menjadi vektor yang menyebarkan virus dengue ketika menggigit manusia.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyebaran DBD meliputi kepadatan populasi nyamuk vektor, kebersihan lingkungan, serta faktor iklim yang mempengaruhi perkembangan nyamuk dan virusnya.
Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan, ada perbedaan antara demam pada DBD dengan demam yang disebabkan oleh penyakit lain.
“Jadi demam berdarah ini, demamnya tinggi seperti lainnya, seperti covid, flu,” kata Dicky dikutip dari Kompas.com, Sabtu (23/3/2024).
Namun, berbeda dengan penyakit lain di mana penurunan demam menandakan perbaikan kondisi, hal tersebut tidak berlaku untuk DBD. Sebaliknya, penurunan demam menjadi indikator awal masuknya DBD ke dalam fase kritis.
Baca Juga: Kasus DBD Di Garut Alami Peningkatan Hingga 72 Persen
Ketika demam mulai turun, itulah ketika kebocoran pembuluh darah terjadi. Biasanya, demam tinggi berlangsung selama 3-7 hari sebelum memasuki fase kritis yang berlangsung 1-2 hari.
“Masalahnya di masyarakat, ada salah kaprah, dikiranya kalau demamnya turun, itu membaik. Nah ini sering kecolongannya di sini,” ujarnya.
Meskipun begitu, seseorang dapat sembuh dari DBD sebelum mencapai fase kritis jika mendapat penanganan yang tepat dan cepat.
Selain itu, untuk mengidentifikasi apakah demam yang dialami merupakan gejala DBD, dapat dilakukan tes Torniquet atau Rumple-Leede dengan menggunakan alat pengukur tekanan darah.
Fase kritis DBD merupakan periode yang dapat berpotensi mengancam nyawa penderita karena terjadi penurunan jumlah trombosit dalam darah, yang dapat menyebabkan perdarahan serius.
Gejalanya meliputi peningkatan hematokrit, perdarahan pada gusi, hidung, atau kulit, serta dapat berkembang menjadi komplikasi yang lebih serius seperti syok dengue atau gagal organ.
Baca Juga: Dinkes Gunungkidul: 2 Anak Meninggal karena DBD
Fase ini biasanya terjadi setelah fase demam tinggi dan bisa berlangsung selama 1-2 hari. Penting untuk mendapatkan perawatan medis yang tepat selama fase kritis ini.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, fase kritis DBD ditandai dengan penurunan demam dan munculnya bintik-bintik merah yang merupakan tanda pendarahan.
Gejala lainnya termasuk pusing atau mimisan. Ketika mencapai tahap kritis, penderita juga mungkin mengalami perdarahan dalam tinja atau fesesnya.
“Kalau tidak dikenali dan ditangani, bisa mengalami fatalitas (kematian) atau syok, sehingga perlu dibawa ke ICU,” tutur Dicky.
Umumnya, fase kritis juga ditandai dengan hilangnya nafsu makan dan minum, serta gejala mual dan muntah.
Pada tahap ini, penting untuk memastikan kebutuhan cairan penderita terpenuhi agar tidak terjadi dehidrasi dan risiko kematian.
Cairan dapat diberikan melalui minum air putih, minuman sehat, dan infus untuk memastikan kecukupan cairan dalam tubuh.
“Sudah luar biasa tidak enak (gejalanya). Kalau cairan tidak memadai, bisa fatal,” ujarnya.
“Umumnya tidak tertolong karena itu, terutama cairan. Tubuh memerlukan cairan yang tinggi saat itu, karena mengalami kebocoran di pembuluh darah,” ucap Dicky.
Setelah melewati fase kritis, penderita DBD akan masuk ke dalam fase pemulihan, yang ditandai dengan peningkatan denyut nadi, peningkatan kadar trombosit dalam darah, dan pemulihan nafsu makan.
Baca Juga: Kasus DBD Melonjak, 269 Orang Dirawat di Lebak Banten
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.