A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined property: stdClass::$iframe

Filename: libraries/Article_lib.php

Line Number: 241

Backtrace:

File: /var/www/html/frontendv2/application/libraries/Article_lib.php
Line: 241
Function: _error_handler

File: /var/www/html/frontendv2/application/controllers/Read.php
Line: 85
Function: gen_content_article

File: /var/www/html/frontendv2/index.php
Line: 314
Function: require_once

Tamu Tak Diundang

Kompas TV kolom opini

Tamu Tak Diundang

Kompas.tv - 4 April 2020, 16:32 WIB
tamu-tak-diundang
Ilustrasi matahari menyinari perkotaan. (Sumber: Pixabay)

Korea Selatan, negeri berpenduduk 50 juta jiwa, disebut-sebut sebagai salah satu yang sukses menangani pandemi Covic-19, bisa menjadi contoh di mana disiplin dijunjung tinggi. Data terakhir (Senin, 30/3/2020), jumlah kasus 9661, meninggal 158 orang, dan sembuh 5.228 orang. Mengapa mereka berhasil “memperlambat” laju penyebaran pandemi?

Faktor utama yang memberikan andil kemampuan mereka “memperlambat “ laju penyebaran atau bahkan memutus antara lain adalah layanan kesehatan nasional yang kuat,  eksekusi agresif protokol penanganan, isolasi, dan perawatan, didukung penuh oleh hukum;  dan yang tidak boleh dilupakan adalah pengalaman sebelumnya menghadapi SARS dan Middle East respiratory syndrome (MERS) tahun 2015.

Selain itu, pengaruh Konfusianisme sangat kuat dalam budaya Korsel. Menurut Konfusius (Kong Fuzi, 558-471 SM), perilaku bangsa tergantung pada kapasitas intelektual rakyat. Cara paling efektif untuk mengembangkan pikiran adalah disiplin moral.  Disiplin moral memungkinkan orang untuk melakukan kontrol diri berdasarkan kebajikan, keutamaan. Di sisi lain, aturan hukum menyiratkan pencegahan melalui sanksi.

Dari sudut pandang Konfusianisme, jenis aturan yang terakhir ini (hukum) pada dasarnya bersifat reaksioner, dan itu hanya menghadapi gejala dan bukan inti masalah. Juga, aturan demi hukum menyiratkan metode pemaksaan penegakan kebijakan pemerintah, sedangkan aturan berdasarkan kebajikan menyiratkan pemahaman spiritual dan ideologis dengan rakyat dan dengan demikian mendapatkan loyalitas rakyat. Konfusius percaya bahwa pemerintahan berdasarkan kebajikan akan berfungsi karena orang pada dasarnya baik hati; dengan demikian, orang-orang akan memilih pemerintahan yang baik dan menolak pemerintahan yang tidak bermoral (Luis Felipe Ramírez; 2010).

Konfusianisme mengajarkan adanya beberapa kewajiban utama dalam hidup. Misalnya yang disebut ren: perlunya memperlakukan orang lain dalam komunitas dengan kemanusiaan; memanusiakan manusia; nguwongke, bahasa Jawanya. Ini sama dengan Golden Rule, etika timbal balik; berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kamu ingin orang lain perbuat padamu.

Yang lain adalah li yang pada garis intinya menyatakan melalui ketaatan pada ritual sosial, orang belajar menunjukkan rasa hormat kepada orang lain dan berperilaku dengan cara yang harmonis secara sosial  (Daniel Tudor;  2012).

Semua itu, ada dalam budaya kita yang sangat beragam ini juga dalam kearifan-kearifan lokal masing-masing daerah. Dalam Manusia Indonesia (2001), Mochtar Lubis menunjukkan ciri-ciri baik manusia Indonesia (selain ciri-ciri buruk): ramah, mudah tertawa sekalipun menelan pil pahit, suka menolong, suka damai, hatinya lembut, sayang keluarga, dan kekuatan ikatan keluarga besar, mudah belajar karena bangsa ini cerdas, serta cepat belajar keterampilan.

Kiranya, dengan semua ciri-ciri baik itu, kita bangsa Indonesia dapat mengatasi pandemi Covid-19, tentu dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan (tidak perlu mempersoalkan terlebih dahulu, mendebat, mencaci, nyinyir, termasuk menyebarkan fitnah dan kabar bohong dengan tujuan politik) melaksanakan keputusan politik pemerintah untuk memutus rantai penularan pandemi.

Memang, ada harga yang harus dibayar oleh warga masyarakat: rela berkorban demi keselamatan bangsa dan negara. Baru dengan demikian, kita pantas disebut manusia berbudaya. Yakni, manusia yang memiliki sikap moral estetis yang religius, toleran, ugahari, kerendahan hati, bersemangat kerja tinggi, serta berdisiplin tinggi, di tengah serangan pandemi Covid-19.

Maka, ketika tiba waktunya seperti kata Sang Pengkhotbah, Takdir datang mengetuk pintu—meminjam istilah yang digunakan oleh Paulo Coelho—akan terdengar ketukan lembut Malaikat Pembawa Kabar Baik, bukan gedoran-gedoran pintu demikian keras dari Sang Tamu Tak Diundang, yang tidak kenal kompromi.

Bila demikian, maka “malam gelap berlalu, dan terbitlah fajar.”

Tulisan Trias Kuncahyono bisa dibaca selengkapnya di sini




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x