Karena tidak ingat lagi ajaran para leluhur itulah, dahulu pujangga besar Keraton Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabei Ranggawarsita menyebutnya sebagai zaman edan.
Baca Juga: Baliho Politik: Mengupas Bahaya dan Menggugat Estetika Komunikasi
Namanya saja zaman edan, maka di zaman seperti itu sudah tidak dapat dibedakan baik atau buruk, kawan atau lawan, jujur atau bohong. Orang yang dianggap pelindung tak mampu melindungi.
Maka rakyat sulit mencari tokoh teladan. Para pemimpin kehilangan sifat ambeg paramaarta, yakni sifat mendahulukan yang perlu didahulukan; mengutamakan yang penting diutamakan. Tapi, lebih mengutamakan kepentingan diri.
**
Kembali kepertanyaan awal: Mengapa Ibu Pertiwi selalu dibuat bersusah hati, menangis, dan berduka? Mengapa selalu berulang bahkan diulang? Karena kita tak pernah belajar dari sejarah?
Padahal kata filsuf Amerika-Spanyol George Santayana (1863-1952) orang yang tidak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.
Bukankah tidak perlu mengulang sejarah yang ditulis Adolf Hitler dengan Nazinya atau sejarah yang digoreskan Benito Mussolini dengan Partai Fasis Nasional-nya, misalnya. Kedua tokoh itu membuat sejarah tragedi manusia.
Kalau sejarah itu berulang, kata Karl Marx (1952), maka tragedi menjadi lelucon. Lelucon tentang tragedi atau tragedi yang menggelikan…
Baca Juga: Kupandang Visuvius dari Balkon
Dahulu di zaman Romawi ketika melihat tragedi kehidupan menguasai terutama para pemimpin dan juga masyarakat karena dekadensi perilaku dan adat-istiadat, negarawan besar di masanya, Cicero berpidato berteriak penuh kepedihan, kekecewaan, putus asa sekaligus marah:
O tempora, o mores…oh zaman, oh adat-istiadat, mengapa menjadi edan….
Dan, ia melihat Ibu Pertiwi menangis…
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.