Ini berarti problemnya adalah masih jauhnya publik menjadi tuan dari penyiaran itu sendiri. Komunikasi publik dimonitor dan disetir oleh kehendak ekonomi, bukan semata untuk kepentingan publik.
Merubah situsai ini tentu bukan perkara mudah. Memadukan antara nilai mulia tujuan penyiaran dengan realitas ekonomi penyiaran rasanya bukan seperti membalikkan telapak tangan.
Mencari jalan tengahnya tidak lain adalah melakukan revisi terhadap definisi penyiaran. Dunia penyiaran telah berkembang. Aktivitas penyiaran saat ini tidak hanya sebatas pada radio dan televisi melainkan juga di platform baru. Selain itu, yang terpenting juga adalah keadilan, baik di bidang ekonomi maupun pengawasan konten.
Siapa pun nanti institusi yang akan mengawasi konten di media baru, termasuk bila KPI diberi perluasan wewenang agar konten media baru diawasi lembaga yang disebut UU Penyiaran untuk melakukan pengawasan penyiaran—harus dapat menjawab keinginan masyarakat.
Sebab faktanya, aduan konten negatif yang bersumber media baru oleh masyarakat nyatanya juga masuk di meja ruang kerja KPI. Yang ingin disampaikan di sini adalah adanya kekhawatiran publik terhadap konten media baru yang kecenderungannya bebas tanpa kontrol.
Selain melalui revisi terhadap definisi penyiaran, cara lainnya adalah meneguhkan spirit historis paradigmatik penyiaran. Jika pada 1 April 1933 penyiaran dikelola sepenuhnya untuk menyajikan kedaulatan informasi dari penjajah, maka lahirnya UU Penyiaran tidak luput dari semangat keberagaman isi.
Mengangkat tema Dari Perbatasan Wujudkan Siaran Ramah, Bermartabat dan Berbudaya dalam pelaksanaan RAKORNAS dan HARSIARNAS ke-90 tidak lain adalah untuk merefleksikan kembali pendekatan keberagaman dalam konten lembaga penyiaran.
Perbatasan dalam narasi ini, tidak hanya sebagai representasi teritori, tetapi juga etalase kebudayaan bangsa. Sehingga, penyiaran bisa menjadi satu bagian yang menopang perbatasan dengan siaran-siaran beragam dan mengangkat rasa cinta kepada tanah air. Ini penting diingatkan apalagi menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.
Diperlukan satu kehendak untuk kembali mengingat dan memasukkan pendekatan lokalitas dalam layar kaca agar tercipta rasa bangga rumpun masyarakat terhadap bangsa dan segala budayanya. Lokalitas dalam layar kaca diharapkan bisa menetralisir dampak kebuayaan dari luberan siaran asing, termasuk tayangan yang melulu terkesan menyeragamkan.
Selain itu, yang paling penting adalah posisi penyiaran harus terus relevan di tengah keruk isu masyarakat. Transformasi digital yang ditandai dengan migrasi televisi dari analog ke digital, musti diterjemahkan sebagai pembaruan kualitas siaran, bukan semata perubahan dalam bentuk teknologi, suara dan video.
Televisi digital harus dilihat sebagai panggung orkestrasi kebudayaan, paradigma, sikap, termasuk keberagaman konten di dalamnya. Termasuk soal konten pemilu, penyiaran menjadi penopang kejernihan dan koherensi informasi mengenai Pemilu.
Dengan demikian, dalam penyiaran harus memastikan kebenaran informasi yang berdasar fakta, tidak mengandung hoaks dan fitnah, apalagi mendorong pangga perpecahan.
KPI mempunyai kerja sama pengawasan dengan lembaga terkait seperti KPU, Bawaslu dan Dewan Pers. Hal ini tidaklah cukup, mengingat integrasi pengawasan ini butuh dibumikan sampai ke akar, dalam hal ini di daerah.
RAKORNAS dan peringatan HARSIARNAS semoga bisa mendorong ditetapkannya formula yang pas dan tepat sasaran. Sehingga siaran pemilu menjadi ramah, bermartabat dan berbudaya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.