Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.tv
YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Kata orang-orang, Jogja itu kota yang romantis. Mereka tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.
Kalau yang dimaksud adalah kawasan Malioboro, Kaliurang, atau Parangtritis, 'romantis' mungkin adalah kata yang tepat untuk mendefinisikannya. Sayangnya, tidak demikian untuk daerah sekitar TPST Piyungan.
Warga Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY) saat ini tengah dipusingkan dengan masalah sampah yang tak kunjung menemukan jalan keluar.
Pemerintah melalui surat edaran Pemda DIY mengumumkan penutupan TPST Piyungan dari tanggal 23 Juli hingga 5 September 2023. Alasan penutupan adalah kapasitas TPST yang sudah melampaui ambang batas maksimal. Apabila dipaksakan untuk menampung sampah, hal itu akan berisiko terhadap bencana longsor tampungan sampah.
Penutupan TPST Piyungan ini bukan yang pertama kali terjadi. Pada 7 Mei 2022 lalu, TPST Piyungan sempat ditutup sebagai bentuk protes warga sekitar terkait transisi pembuangan sampah ke lahan baru yang berada di sebelah utara TPST seluas 2,1 hektar.
Warga mengeluhkan dampak lingkungan akibat tampungan sampah yang sudah melebihi kapasitas. Selain bau, cairan lindi juga mencemari sumur-sumur warga sehingga air untuk memasak dan minum sudah tidak layak konsumsi.
Kondisi ini bisa juga membahayakan kesehatan warga seperti menyebabkan sesak nafas, gatal-gatal pada kulit, perut mual, muntah-muntah, diare bahkan gagal ginjal dan gangguan fungsi hati serta sistem saraf.
Koordinator aksi, Herwin Arfianto mengatakan ada dua hal yang mendasari aksi demo warga tersebut.
Pertama, masalah perizinan. Perizinan sebenarnya adalah untuk pengolahan sampah bukan pembuangan. Namun, sejak 1996 perizinan untuk tempat pengolahan terus diperpanjang meski nyatanya dipakai untuk pembuangan.
Kedua, kontrak sebenarnya sudah habis sejak Maret 2022, sehingga pembuangan sampah di TPST Piyungan yang masih berlangsung setelahnya dianggap ilegal.
TPST yang beroperasi sejak 1995 ini memiliki luas lahan 12 hektar dengan kapasitas maksimal 2,7 juta meter kubik. Awalnya, sistem pembuangan di TPST Piyungan menggunakan metode sanitary landfill sehingga hanya berlaku untuk sampah organik yang bisa terurai.
Metode ini kemudian berubah jadi control landfill karena tidak lagi memisahkan antara sampah organik dan anorganik. Perubahan metode ini menimbulkan peningkatan volume sampah dan risiko bencana ekologis.
Menurut data dari Dinas PUPR dan ESDM, sebagaimana dikutip oleh WALHI Yogyakarta, volume sampah yang ditampung oleh TPST Piyungan pada tahun 2022 mencapai 757,2 ton per hari.
Di masa libur Lebaran, jumlahnya bisa meningkat hingga sekitar 900 ton per hari. Sampah yang masuk ke TPST ini berasal dari tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Itu sebabnya tampungan sampah di TPST begitu banyak sehingga sering buka-tutup.
Kalau biasanya penutupan TPST hanya berlangsung beberapa hari, kali ini 45 hari. Di daerah Kota Yogyakarta, sampah menumpuk di sejumlah tempat pembuangan sampah sementara (TPS).
Di komplek tempat saya tinggal, sudah seminggu lebih mobil pengangkut sampah tidak beroperasi di sini.
Sumber : Kompasiana
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.