Hubungan kami dekat. Meskipun sangat jarang bertemu secara fisik. Tidak pernah bertatap muka. Tetapi, kami termasuk intens berkomunikasi lewat WA.
Pakde, begitu saya menyapanya. Dan, Pakde menyapa saya dengan sebutan, Dimas.
Setiap kali saya menulis “dongeng” dan saya bagi-bagi kepada para sahabat yang masih mempunyai waktu untuk membaca atau memiliki rasa ketertarikan membaca, saya pasti kirim padanya. Dan, Pakde selalu mengomentari. Bahkan bukan hanya mengomentari tetapi juga memberikan tambahan pandangan.
Zaman sekarang ini, orang rada-rada males membaca. Apalagi, tulisan yang panjang-panjang dan kurang kontroversial; yang kurang bernilai heboh; yang kurang kencang ngritiknya; yang kurang kasar bahasanya; kurang menghina orang lain; dan yang semacamnya. Yah, begitulah zaman sekarang.
Kemarin, Pakde kirim WA begini bunyinya:
Yang saya haturkan ini mungkin tidak menanggapi atau menambah apa-apa. Ini catatan-catatan kecil lepas sewaktu merenungkan artikel Dimas.
Menurut saya, setiap zaman membutuhkan seorang nabi, yang bisa melihat keadaan riil, tetapi menyusup lebih dalam untuk menemukan inti masalahnya dan kemudian menyuarakan peringatan plus membawanya ke depan. Ia mungkin tak populer dan kerap menjadi korban kenabiannya, dicerca dan dihina.
Sekadar contoh. Pada abad 19, Victor-Marie Hugo (1802-1885), seorang penyair, novelis, dan dramawan kondang Perancis menulis novel Les Misérables (1862). Novel lainnya adalah Notre-Dame de Paris (1831). Ada yang menerjemahkan Les Misérables menjadi The Miserable Ones, The Wretched, The Poor Ones, The Wretched Poor, dan The Victims.
Apa pun terjemahannya, lewat novelnya itu, Hugo melancarkan kritik sosial atas ketidakadilan yang lahir dari absolutisme monarki di Perancis, plus Gereja yg terkait di dalam sistem itu. Novel ini sering dikaitkan dengan Revolusi Perancis yang berslogan Liberte, Egalite et Fraternite.
Tetapi sesungguhnya, setting novel ini adalah masa setelah revolusi; bahkan 43 tahun setelah revolusi. Yakni, ketika terjadi pergolakan yang dikenal sebagai Pemberontakan Juni.
Para sejarawan bahkan berpendapat andaikan Victor Hugo tidak mengangkatnya menjadi novel, orang melupakan peristiwa yang menewaskan dan melukai 800 itu. Novel ini lalu diangkat menjadi film.
***
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.