Trias Kuncahyono, Penulis adalah Wartawan Senior Harian Kompas
SAYA masih ingat, almarhum Budeku dulu aktif di organisasi perempuan Persyarikatan Muhammadiyah, yakni Aisyiyah. Yah, Aisyiyah di tingkat desa. Yang juga saya ingat, di depan rumah Bude ada board papan nama dari seng tak begitu besar warna hijau dan ada tulisannya Aisyiyah, di bawah logo Aisyiyah.
Sama halnya dengan Muhammadiyah, logo Aisyiyah berbentuk matahari yang memancarkan ke-12 sinarnya. Perbedaannya hanya pada tulisan Arab di lingkaran tengah yang bertuliskan Aisyiyah. Warna dasarnya hijau daun, sedangkan seluruh sinar dan tulisannya berwarna putih.
Aisyiyah berdiri dengan itikad mencerdaskan kehidupan perempuan. Bahwa perempuan juga memiliki hak untuk merasakan manisnya ilmu pengetahuan.
Bude rajin menghadiri acara-acara yang digelar Aisyiyah. Berkebaya putih dan berkerudung putih, begitulah “pakaian kebesaran” Bude. Bude sekeluarga, memang Muhammadiyah.
Sementara, adik-adik Bude, Katolik. Tapi, kami keluarga besar, rukun-rukun saja, nggak ada masalah sama sekali. Hari-hari besar keagamaan, kami sama merayakan penuh sukacita. Di saat lebaran, saya juga kebagian “rezeki” dari Bude. Bahkan, saat masih sekolah dasar, saya kerap mendapatkan uang jajan dari Bude.
Baca Juga: 4 Pernyataan Haedar Nashir usai Terpilih Jadi Ketua Umum PP Muhammadiyah 2022-2027
Perbedaan agama, dulu, memang nggak pernah menjadi masalah. Beda dengan sekarang ini. Kerap kali ada yang memainkan soal perbedaan agama untuk merobek-robek anyaman persaudaraan sesama anak bangsa. Bahkan ada yang dengan sengaja mempersoalkan perbedaan agama untuk kepentingan-kepentingan politik, kepentingan kekuasaan.
Padahal, kan dari sedari dulu, bangsa Indonesia itu majemuk. Maka benar yang dikatakan Bung Karno, beberapa puluh tahun silam, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Kehidupan di desa, di zaman saya kecil, juga ayem tentrem, tenang dan damai, antar-warga saling hormat menghormati, saling bertenggang rasa, dan toleran. Semangat gotong-royong masih kuat. Pendek kata, menyenangkan.
***
Ingat Bude almarhum, ingat kehidupan masyarakat desa di zaman dulu, saya lalu ingat sahabat saya Sukidi, yang juga dari desa, dan yang Muhammadiyah. Bahkan disebut sebagai cendikiawan muda Muhammadiyah.
Sahabat saya ini, sangat suka dan semangat menulis tentang ke-Indonesiaan. Ia tak henti-hentinya mengingatkan bahwa Indonesia itu majemuk dalam segalanya. Maka kita memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.”
Indonesia majemuk, baik dari kelas-kelas sosial, partai politik, aliran, agama, suku, etnis, budaya dan sebagainya. Kata Yudi Latief penulis buku Negara Paripurna (2011), prinsip ketiga Pancasila meletakkan dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan.
Ini suatu konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan (unity in diversity, diversity in unity), yang dalam slogan negara dinyatakan dalam ungkapan “bhinneka tunggal ika.”
Maka kata Yudi Latief, kita boleh beda warna kulit, beda ras,beda agama, dan banyak perbedaan lainnya, tapi kalau ingat darah sama merah dan tulang sama putih itulah yang diwujudkan dalam bendera Indonesia, bendera kemanusiaan Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.