Kompas TV kolom opini

Antara Roma dan Manama (3): Agama Sumber Solusi Bukan Masalah

Kompas.tv - 9 November 2022, 06:20 WIB
antara-roma-dan-manama-3-agama-sumber-solusi-bukan-masalah
Paus Fransiskus bersama Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa dan Pangeran Bahrain Salman bin Hamad Al Khalifa, menyampaikan pidatonya selama pertemuan mereka di Istana Kerajaan Sakhir, Bahrain, Kamis, 3 November 2022. Paus Fransiskus sedang melakukan kunjungan 3-6 November untuk berpartisipasi dalam konferensi tentang dialog Timur-Barat dan untuk melayani komunitas kecil Katolik Bahrain, bagian dari upayanya untuk melakukan dialog dengan dunia Muslim. (Sumber: Foto AP/Hussein Malla)

Sayangnya--juga terjadi di negara kita, di sekitar kita--banyak yang justru (ingin) merobohkan jembatan, merusak jembatan, dan bahkan membakar jembatan. Banyak cara digunakan: menebarkan kebencian rasial, menyebar hoaks, memfitnah, menyiarkan berita palsu, menyelek-njelekkan pihak lain yang segolongan, pihak yang tak sepaham, pihak yang berbeda, dan banyak lain lagi termasuk politisasi agama. 

Jembatan dialog itu, tidak hanya perlu dibangun antara Islam dan Kristen, tetapi juga antara intra-Islam, intra-Kristen. Kata Al-Thayyeb, perlu "dibangun kembali jembatan dialog, jembatan saling memahami dan saling percaya, dan untuk menciptakan perdamain di dunia yang penuh luka ini." 

Bahkan Al-Thayyeb menyatakan membuka hatinya dengan penuh kasih dan merentangkan tangannya lebar-lebar untuk menyambut "saudara-saudara Muslim Syiah kita." 

Ketua Dewan para Tetua Muslim itu mengatakan, "Saya tegaskan kembali bahwa para ulama senior di Al-Azhar dan Dewan para Tetua Muslim dan saya, siap menjadi tuan rumah pertemuan serupa dengan hati terbuka dan tangan terulur, sehingga kita bisa duduk bersama di satu meja bundar untuk mengesampingkan perbedaan kita dan memperkuat kita" (Gulf News, 4 November 2022) 

Maka, siapa pun yang cinta damai, siapa pun ingin membangun persaudaraan antarumat beriman, siapa pun yang berkehendak mendirikan rumah perdamaian bersama, harus membuka hati dan pikirannya untuk sesama sekalipun berbeda, dan merayakan perbedaan untuk perdamaian dunia, membuang jauh-jauh rasa curiga dan kebencian terhadap pihak lain, mengubur dalam-dalam sikap bermusuhan terhadap yang berbeda dalam banyak hal, termasuk beda agama. 

Sebab, kata Paus di hadapan para anggota Dewan para Tetua Muslim, perdamaian tidak bisa begitu saja diproklamasikan; perdamaian harus dibantu untuk berakar. Dan ini dimungkinkan dengan menghilangkan bentuk-bentuk ketidaksetaraan dan diskriminasi yang menimbulkan ketidakstabilan dan permusuhan. 

Sumber Solusi

Jelas bahwa para pemimpin agama--Islam, Kristen, dan Yahudi--yang bertemu di Bahrain menyerukan agar agama-agama besar dunia bekerja bersama untuk perdamaian dengan mengatakan kebenaran tertinggi bahwa agama semestinya tidak pernah digunakan membenarkan kekejaman. 

Kiranya, di Bali pun, para pemimpin agama juga menegaskan hal yang sama. Yakni bahwa agama berfungsi sebagai sumber solusi yang terbuka dan dinamis, bukan sebagai masalah, di abad ke-21 yang dibanjiri berbagai persoalan baik yang ditimbulkan manusia sendiri maupun karena sebab-sebab lain. 

Tetapi, di banyak tempat di dunia ini  bahkan di negeri kita, masih ada yang bertopeng agama, yang berjubah agama, yang mengatas-namakan agama untuk setiap tidakan, ujaran, dan sikapnya terhadap orang lain, yang sesungguhnya tidak mencerminkan "kebenaran tertinggi" agama. Walaupun mengklaim bahwa tindakan dan ujaran mereka sesuai dengan ajaran agama, tentu menurut persepsinya sendiri. 

Tidak aneh kalau Keith Ward (2009) seorang filsuf-teolog dari Inggris pernah bertanya: apakah agama lebih banyak melakukan kejahatan daripada kebaikan? Apakah agama merupakan kekuatan bagi kejahatan, atau bahkan akar semua kejahatan? Benarkah agama berbahaya? 

Padahal, kata Paus dalam pertemuan dengan Dewan para Tetua Muslim di Masjid Istana Raja al-Sakhir di Awali (vatican.va, 4 November), "Tuhan adalah sumber kedamaian.....Tuhan perdamaian tidak pernah menghadirkan perang, tidak pernah menghasut (untuk berbuat) kebencian, tidak pernah mendukung kekerasan. Kami, yang percaya padanya, dipanggil untuk mempromosikan perdamaian dengan alat perdamaian, seperti pertemuan, negosiasi sabar dan dialog, yang merupakan oksigen hidup berdampingan secara damai." 

Di antara tujuan Anda adalah penyebaran budaya perdamaian berdasarkan keadilan. Saya ingin memberi tahu Anda bahwa ini memang jalan, satu-satunya jalan, yang harus diambil, sejauh perdamaian "adalah akibat dari kebenaran" (Gaudium et Spes, 78). 

Jalan perdamaian memang harus diambil, sekarang ini. Sebab, "Kita hidup di saat ketika umat manusia, terhubung tidak seperti sebelumnya, tampak jauh lebih terpecah daripada bersatu ... kita terus menemukan diri kita berada di ambang jurang yang rapuh dan kita tidak ingin jatuh." 

Ini adalah paradoks yang mencolok bahwa, sementara mayoritas penduduk dunia bersatu dalam menghadapi kesulitan yang sama, menderita dari krisis pangan, ekologi, dan pandemi, serta ketidakadilan global yang semakin memalukan, beberapa penguasa terperangkap dalam perjuangan tegas untuk kepentingan partisan. 

Kita tampaknya menyaksikan skenario dramatis dan kekanak-kanakan: di taman kemanusiaan, alih-alih mengolah lingkungan kita, kita malah bermain dengan api, misil dan bom, senjata yang membawa kesedihan dan kematian, menutupi rumah kita bersama dengan abu dan kebencian. 

Maka kata Paus dalam pidatonya pada penutupan forum dialog, "Mari kita saling mendukung; mari kita tindak lanjuti pertemuan kita hari ini; mari kita jalan bersama! Kita akan diberkati oleh Yang Mahatinggi dan oleh makhluk terkecil dan rentan yang kepadanya Dia memiliki cinta istimewa: orang miskin, anak-anak dan orang muda, yang setelah begitu banyak malam yang gelap menunggu terbitnya fajar cahaya dan kedamaian" (Libreria Editrice Vaticana). 

Kita pun di negeri ini, kiranya perlu semakin menyadari dan menerima sepenuh hati bahwa keberagaman keyakinan adalah fakta. Karena itu, memaksakan keyakinan seseorang kepada orang lain merupakan pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan. 

Bukankah, umat beragama harus mempunyai jiwa yang lapang untuk melihat seluruh umat manusia sebagai sesama saudara meskipun memakai jubah berbeda. Nasihat para bijak bestari, manusia beragama harus berusaha menaklukkan diri, meredam nafsu, dan menghentikan ambisi liarnya, khususnya menganggap diri layak mewakili Tuhan, atau berperan sebagai Tuhan. 

Sebab, hal semacam itu adalah musuh bersama umat manusia, dan bertentangan dengan misi perdamaian agama-agama.*




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x