MENGAPA ia tega mengajak serta dua anak perempuannya yang masih kecil -Fadhila Sari (12) dan Famela Rizqita (8)- untuk menjadi pengebom bunuh diri?
Itu pertanyaan wajar banyak orang setelah mengetahui pengebom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jl Diponegoro, Surabaya, Jawa Timur, pada Minggu, 13 April 2018, adalah seorang ibu: Puji Kuswati.
Orang waras, sangat sulit memahami apalagi menerima tindakan Puji Kuswati, baik itu tindakan bersama kedua anaknya maupun bila dilakukan sendiri. Perempuan menjadi pengebom bunuh diri. Perempuan menjadi teroris. Mengapa mereka memilih jalan itu?
Bukankah sepanjang sejarah, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lembut. Banyak orang bahkan mengatakan, perempuan "setengah lebih baik" dibanding laki-laki.
Yang lain mengatakan, perannya menjadi istri dan ibu (dalam budaya Jawa lebih jelas lagi, menempatkan perempuan sebagai kanca wingking, orang belakang dalam rumah tangga.
Meskipun, sekarang tidak lagi demikian: laki-laki dan perempuan setara dalam segala hal). Itu dipandang sebagai kodrat dan tujuan universal perempuan.
Baca Juga: Polisi Ungkap Penerobos Istana Merdeka Siti Elina Ingin Bertemu Presiden Joko Widodo, Ini Tujuannya
Memang, kata Olivia M Bizovi (2014) dalam tesisnya Deviant Women: Female Involvement in Terrorist Organization, masyarakat sulit memahami apa yang memotivasi perempuan melakukan kekerasan.
Apalagi jika tindakan tersebut dilakukan di depan umum dan berdampak pada banyak orang; seperti menjadi pengebom bunuh diri.
Keterlibatan perempuan dalam terorisme tidak mudah dipahami oleh masyarakat. Selain itu, lebih sulit untuk memahami dorongan di balik keterlibatan perempuan dalam terorisme selain memahami premis organisasi tempat perempuan itu bergabung.
Misalnya, ikut Al-Qaeda, ISIS, JI, JAD, MIT, dan NII, tentu beda-beda.
Meskipun keterlibatan perempuan dalam terorisme bukanlah fenomena baru. Menurut catatan, keterlibatan mereka dalam gerakan teroris bahkan sudah sejak akhir abad 18.
Dari "hanya" sekadar pendukung (termasuk menyiapkan teroris-teroris baru, mulai dari melahirkan hingga membesarkan), dalam perkembangan waktu, peran perempuan meningkat bahkan menjadi pengebom bunuh diri.
Kata Anna Wojtowicz dalam The Emergence of Female Terrorism, (2013), kecenderungan itu dipengaruhi faktor ekonomi regional, sosial, agama, dan personal.
Selain itu, juga disebabkan oleh kekerasan dan penindasan dari organisasi teroris, yang memahami efektivitas pengebom bunuh diri perempuan.
Kepentingan strategis itu telah mendorong makin banyak rekrutmen perempuan untuk dijadikan teroris.
Sumber : Kompas TV, Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.