Pasca-Perang Dunia II, situasi semakin memanas dengan meningkatnya arus imigrasi Yahudi ke Palestina, terutama setelah tragedi Holocaust. Kelompok Zionis memperkuat jaringan paramiliter mereka seperti Haganah dan Irgun, sebagai persiapan pembentukan negara Yahudi.
Pada tahun 1947, Inggris menyerahkan masalah ini kepada PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi 181, membagi wilayah Palestina menjadi dua negara. Komunitas Yahudi menerima resolusi tersebut, tetapi warga Arab Palestina dan negara-negara Arab menolaknya. Hal ini memicu Perang Arab-Israel 1948, yang menyebabkan ratusan ribu warga Palestina terusir dari tanah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba.
Hingga saat ini, jutaan pengungsi Palestina masih tersebar di wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, serta negara-negara tetangga. Hak para pengungsi untuk kembali ke tanah asal mereka tetap menjadi isu penting yang belum terselesaikan dalam konflik ini.
Baca Juga: Palestina Peringati 76 Tahun Nakba di Tengah Pembantaian di Gaza
Strategi Demografi Israel
Nakba tidak hanya merupakan tragedi masa lalu. Israel secara sistematis menerapkan strategi demografi untuk mengubah lanskap wilayah Palestina, terutama di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Metode yang mereka gunakan mencakup pembongkaran rumah, perampasan tanah, dan pembangunan permukiman ilegal.
Selama Perang Enam Hari 1967, Israel berhasil menguasai wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur, memperluas kontrol mereka atas wilayah-wilayah strategis tersebut. Pendudukan ini mendapat kecaman dari berbagai pihak internasional, termasuk PBB, karena dianggap melanggar hukum internasional, terutama Konvensi Jenewa Keempat.
Undang-Undang Properti Absen 1950 digunakan oleh Israel untuk merampas properti warga Palestina yang meninggalkan tanah mereka pada 1948. Hingga saat ini, sekitar 70 persen properti warga Palestina telah diambil alih melalui undang-undang tersebut.
Baca Juga: Buka Sidang Genosida Gaza, Afrika Selatan: Kejahatan Israel di Palestina Dimulai sejak 1948
Pengusiran Diam-Diam di Yerusalem Timur
Selain kekerasan di Gaza, Yerusalem Timur juga mengalami perubahan signifikan melalui pengusiran warga Palestina secara diam-diam. Kawasan ini dihuni oleh lebih dari 350.000 warga Palestina dan sekitar 230.000 pemukim Israel.
Pengusiran ini dilakukan secara sistematis melalui jaringan hukum yang mendukung kolonisasi Israel. Menurut Tamara Tamimi, peneliti di lembaga Al-Shabaka, pengusiran paksa warga Palestina semakin meningkat sejak Oktober 2023.
Kebijakan ini juga melibatkan pembongkaran rumah dan perluasan permukiman ilegal. Osama Risheq, pengamat hukum di Universitas Al-Quds, mencatat bahwa tingkat pembongkaran di Tepi Barat dan Yerusalem Timur saat ini mencapai titik tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Kantor HAM PBB melaporkan bahwa sejak 7 Oktober 2023 hingga Agustus 2024, otoritas Israel telah membongkar lebih dari 1.400 bangunan Palestina di Tepi Barat, menggusur lebih dari 3.300 warga, termasuk sekitar 1.430 anak-anak.
Strategi demografi Israel di wilayah pendudukan terus mengubah kenyataan di lapangan, menegaskan bahwa Nakba masih berlangsung hingga hari ini. Pengusiran dan perampasan tanah semakin memperparah penderitaan warga Palestina, sementara tekanan internasional untuk menyelesaikan konflik ini kian mendesak.
Nakba bukanlah sekadar peristiwa sejarah. Dampaknya masih terasa dalam kehidupan sehari-hari warga Palestina, yang terus berjuang mempertahankan eksistensi mereka di tengah pendudukan.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.