KOPENHAGEN, KOMPAS.TV - Penelitian terbaru menunjukkan bahwa runtuhnya populasi masyarakat petani zaman batu di Eropa Utara sekitar 5.000 tahun lalu, mungkin disebabkan oleh wabah penyakit.
Penyebab bencana yang dikenal sebagai runtuhnya Neolitikum itu telah lama menjadi bahan perdebatan.
Berdasarkan studi DNA dari tulang dan gigi manusia yang digali dari makam kuno di Skandinavia – tujuh dari daerah Falbygden di Swedia, satu dari pesisir Swedia dekat Gothenburg, dan satu dari Denmark – penyakit diduga berperan sentral dalam peristiwa tersebut.
Dilansir The Guardian, Kamis (11/7/2024), para peneliti mempelajari sisa-sisa tubuh 108 manusia – 62 laki-laki, 45 perempuan, dan satu tidak teridentifikasi. Sebanyak 18 di antara kerangka-kerangka manusia itu, atau 17 persen, terinfeksi wabah saat meninggal.
Baca Juga: Pria di China Tertangkap Menyelundupkan 100 Ular Hidup dalam Celana
Para peneliti berhasil melacak garis keturunan 38 orang dari Falbygden sepanjang enam generasi, sekitar 120 tahun. Sebanyak 12 dari mereka, atau 32 persen, terinfeksi wabah.
Temuan genomik menunjukkan bahwa komunitas mereka mengalami tiga gelombang berbeda dari bentuk awal wabah.
Para peneliti merekonstruksi genom penuh dari berbagai galur bakteri penyebab wabah, Yersinia pestis, yang bertanggung jawab atas gelombang-gelombang tersebut.
Mereka menyimpulkan bahwa gelombang terakhir mungkin lebih ganas daripada yang lain, dan mengidentifikasi ciri-ciri yang menunjukkan bahwa penyakit ini bisa menyebar dari orang ke orang dan menyebabkan epidemi.
"Kami mengetahui bahwa wabah Neolitikum adalah nenek moyang dari semua bentuk wabah berikutnya," kata Frederik Seersholm, ahli genetika di Universitas Kopenhagen dan penulis utama penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science tersebut.
Bentuk lain dari patogen yang sama ini menyebabkan Wabah Justinian pada abad keenam Masehi dan Wabah Hitam pada abad ke-14 yang melanda Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah.
Karena galur yang beredar selama penurunan Neolitikum adalah versi yang jauh lebih awal, wabah mungkin menghasilkan gejala yang berbeda dari epidemi beberapa milenium kemudian.
Sumber : The Guardian
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.