Meskipun pengunduran diri Gantz dan Eisenkot tidak mengancam signifikan pemerintahan Netanyahu, karena partai mereka bukan bagian dari koalisi yang berkuasa yang memegang mayoritas dengan 64 kursi, keluarnya mereka meninggalkan Kabinet Perang tanpa perwakilan dari partai lain selain Likud milik Netanyahu.
Kabinet Perang, yang dibentuk pada 11 Oktober, awalnya terdiri dari Netanyahu, Gantz, dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, dengan pengamat seperti Menteri Urusan Strategis Ron Dermer, Eizenkot, dan pemimpin partai Shas Aryeh Deri.
Pengunduran diri Gantz dan Eisenkot membuka peluang bagi partai-partai sayap kanan Otzma Yehudit yang dipimpin oleh Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, dan Zionisme Religius yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.
Kedua partai tersebut sering mengungkapkan ketidakpuasan dengan keputusan perang yang dibuat oleh Kabinet Perang yang tidak menyertakan perwakilan mereka.
Baca Juga: Korban Tewas Palestina Dibunuh Militer Israel Tembus 37.000 Jiwa, 283 Warga Terbunuh 24 Jam terakhir
Smotrich menyebut pengunduran diri tersebut sebagai “tidak bertanggung jawab,” sementara Ben-Gvir segera meminta Netanyahu melalui X untuk memasukkan dirinya ke dalam Kabinet Perang.
“Saya sudah mengajukan permintaan kepada Perdana Menteri, meminta untuk bergabung dengan Kabinet. Saatnya membuat keputusan berani, mencapai pencegahan nyata, dan membawa keamanan bagi warga selatan, utara, dan seluruh Israel,” kata Ben Gvir.
Hingga Senin pagi, Netanyahu belum menanggapi permintaan Ben Gvir. Tidak seperti Ben Gvir yang tidak punya pengalaman militer, Gantz adalah mantan menteri pertahanan dan kepala staf, dan Eisenkot juga mantan kepala staf.
Oposisi menuduh Netanyahu menyerah pada Ben-Gvir dan Smotrich, yang menentang kesepakatan gencatan senjata atau pertukaran tahanan dengan Hamas dan mengancam akan mengundurkan diri serta menggulingkan pemerintahan jika kesepakatan tersebut dibuat.
Netanyahu bertekad untuk tetap menjabat dan menolak seruan yang semakin kuat untuk menggelar pemilu lebih cepat, dengan alasan pemilu semacam itu akan “melumpuhkan Israel” dan menunda negosiasi pertukaran tahanan hingga delapan bulan.
Israel terus melancarkan serangan brutal ke Gaza sejak serangan 7 Oktober oleh kelompok Palestina Hamas, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera.
Lebih dari 37.100 warga Palestina tewas di Gaza akibat pengeboman dan serangan darat Israel, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dengan hampir 84.500 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Sumber : Anadolu / Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.