BEIJING, KOMPAS.TV - Dengan semakin dekatnya pertarungan pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) antara Donald Trump dan Joe Biden, China dengan cemas mengikuti perkembangan ini. Pasalnya, keduanya dipandang China sama-sama buruk, bak harus memilih di antara dua cawan yang sama-sama berisi buah simalakama.
Ada dua perhatian utama yang membuat China waspada. Pertama, kampanye itu sendiri, di mana kedua kandidat diyakini akan menunjukkan sikap dan retorika keras terhadap China, yang dapat mengancam perbaikan hubungan AS-China yang belum lama ini terlihat.
Kemudian, hasil pemilihan November menjadi perhatian serius. Baik Biden maupun Trump tidak dianggap menarik oleh pemerintah Beijing. Meskipun Biden menunjukkan niat untuk berkolaborasi dengan China, namun langkah-langkahnya untuk menyatukan sekutu di Indo-Pasifik dalam koalisi melawan China menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Beijing.
Selain itu, kecemasan juga muncul terkait pendekatan Biden terhadap Taiwan, di mana ia menyatakan kesiapannya mengirim pasukan AS untuk membela pulau tersebut dalam konflik dengan China, seperti laporan Associated Press, Selasa (30/1/2024).
Di sisi lain, Trump, dengan pendekatan isolasionisnya dalam kebijakan luar negeri, mungkin lebih berhati-hati dalam membela Taiwan. Namun, ketidakpastiannya dan retorika keras terhadap China membuat segalanya mungkin, termasuk kemungkinan memperdalam perang dagang yang belum mereda sejak masa pemerintahannya.
Menurut Zhao Minghao, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Fudan di Shanghai, "Bagi China, tidak peduli siapa yang menang dalam pemilihan presiden AS, keduanya sama-sama dua 'cawan berisi racun'."
Meskipun hubungan AS-China mengalami sedikit perbaikan, ketegangan tetap tinggi, terutama terkait perkara Taiwan. Kepentingan dalam menentukan siapa yang akan berada di Gedung Putih tidak hanya berpengaruh pada hubungan AS - China, tetapi juga dapat memiliki konsekuensi besar terhadap perdamaian di kawasan Asia-Pasifik.
Baca Juga: Menlu China Tegas, Kemerdekaan Taiwan Bakal Rusak Hubungan Tiongkok-AS
Pendapat Zhao mendapatkan dukungan dari beberapa analis di kedua negara, yang menyarankan bahwa Beijing mungkin melihat Biden sebagai pilihan yang lebih baik di antara dua kejahatan karena kestabilannya, meskipun pemerintah China tetap khawatir dengan upayanya membangun kemitraan untuk menantang China.
Sun Chenghao, seorang peneliti di Pusat Keamanan Internasional dan Strategi di Universitas Tsinghua, menyatakan, "Tidak peduli siapa yang memegang jabatan, itu tidak akan mengubah arah persaingan strategis Amerika dengan China."
Pendapat ini sejalan dengan banyak analis yang berpendapat, meskipun ada perbedaan antara Biden dan Trump, hubungan AS - China kemungkinan akan tetap pada jalur yang sama, seiring China punya pengalaman berurusan dengan keduanya selama empat tahun terakhir.
Di media sosial China, tampaknya banyak komentator yang mendukung Trump. Mereka melihatnya bukan hanya sebagai pengusaha yang siap bernegosiasi, tetapi juga sebagai kekuatan yang mengguncang demokrasi Amerika dan kepemimpinan global AS, yang pada akhirnya menguntungkan Beijing.
Trump mendapat julukan Chuan Jianguo, atau "Trump, pembangun bangsa (China)," karena kebijakan dan pernyataannya yang dianggap membantu Beijing. Namun, ada juga peringatan dari para ahli bahwa sentimen nasionalis yang berkembang di China dapat bertentangan dengan pandangan pemerintah dan elit.
Menurut Sun Yun, direktur program China di Stimson Center yang berbasis di Washington, "Dengan Trump, tidak ada dasar hubungan AS-China, dan Trump menimbulkan risiko dan ketidakpastian besar, termasuk kemungkinan konflik militer."
Beberapa ahli memperingatkan meskipun ada potensi keuntungan dengan kebijakan Trump yang dapat merusak aliansi dan kemitraan AS, manfaat tersebut mungkin tidak dapat menutupi kerugian yang lebih besar yang dapat ditimbulkannya pada hubungan dengan China.
Baca Juga: China Makin Keras Usai William Lai Jadi Presiden Taiwan, Bakal Ada Hukuman Kasar jika Ingin Merdeka
Dalam hubungan AS - China, sejarah Trump dimulai dengan kontroversi ketika ia menerima ucapan selamat dari Presiden Taiwan tahun 2016 saat menang pemilu presiden, yang membuat Beijing murka. Meskipun hubungan tampaknya membaik tahun 2017 dengan pertemuan antara Trump dan Presiden China Xi Jinping, perang dagang yang dimulai oleh Trump tahun 2018 menjadi puncaknya.
Pandemi Covid-19 tahun 2020 membawa hubungan AS - China ke titik terendah. Upaya Trump menyalahkan China atas penyebaran virus ini menyebabkan ketegangan lebih lanjut. Meski demikian, analis meyakini bahwa China tidak akan campur tangan dalam pemilihan presiden AS tahun ini, baik karena tidak ingin melakukannya maupun karena mereka belum memiliki kapabilitas untuk melakukannya.
Biden, setelah terpilih, melanjutkan kebijakan China yang diterapkan oleh pendahulunya. Dia mempertahankan tarif dan membatasi akses perusahaan China ke teknologi canggih, serta memberlakukan sanksi terhadap pejabat China atas pelanggaran hak asasi manusia.
Ketegangan antara AS dan China mencapai puncaknya awal 2023 ketika AS menembak jatuh balon mata-mata Tiongkok. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengatur pertemuan antara Biden dan Xi, yang menghasilkan beberapa kesepakatan kecil dan komitmen untuk menstabilkan hubungan.
Meskipun ada beberapa preferensi untuk Biden karena kestabilannya, beberapa ahli mengingatkan bahwa China mungkin lebih sulit berurusan dengan pendekatan nilai-nilai yang dipegang oleh Biden, yang berusaha membangun aliansi global untuk menantang pengaruh China.
Dalam pandangan Wang Yiwei, direktur Institut Urusan Internasional di Universitas Renmin di China, Beijing lebih khawatir tentang sikap Trump yang bermusuhan terhadap globalisasi daripada upaya Biden dalam membangun aliansi global. "Kita tidak mengharapkan salah satu dari mereka akan lebih baik bagi China, tetapi kunci (bagi China) adalah melanjutkan pembukaan dan reformasi, dan pengembangan berkualitas tinggi," ujarnya.
Dengan demikian, walaupun masih ada ketidakpastian dan ketegangan dalam hubungan AS-China, pandangan umum adalah bahwa tidak peduli siapa yang menang, China harus terus berfokus pada pembukaan, reformasi, dan pengembangan kualitas tinggi dalam menghadapi situasi geopolitik yang kompleks ini.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.