Anggota parlemen Israel Ariel Kallner mengatakan "musuh harus diakhiri" dan seorang lagi, Moshe Saada, menegaskan, "Tidak ada lagi operasi bedah, koridor kemanusiaan, dan operasi yang mengetuk pintu terlebih dahulu."
Selain itu, Zvi Sukkot, seorang legislator Israel lainnya yang menyebut Hamas sebagai "Nazi" mengatakan, "Kami akan membunuh Nazi dan asisten mereka. Kami tidak akan puas dengan upaya yang kurang dari itu."
Presiden Israel Isaac Herzog mencoba membenarkan korban sipil dengan mengatakan warga sipil di Gaza menyadari serangan Hamas dan bersalah karena dianggap terlibat.
Selain tindakan yang bertujuan untuk hukuman kolektif warga Gaza, semua pernyataan ini mengungkapkan niat genosida pemerintah Israel. Pernyataan semacam itu tidak terbatas pada pejabat saja.
Di media sosial, Ezra Yachin, seorang relawan tentara Israel berusia 95 tahun, terekam kamera meminta pembantaian warga Palestina dengan mengatakan, "Hancurkan mereka dan jangan tinggalkan siapa pun. Hancurkan bahkan kenangan mereka. Hancurkan mereka dan keluarga mereka."
"Hancurkan ibu dan anak-anak mereka. Binatang-binatang ini tidak bisa bertahan lebih lama. Kita tidak punya alasan hari ini. Orang Arab di sini juga bisa menyerang kita. Setiap Yahudi dengan senjata harus pergi dan membunuh mereka," kata Yachin sebagai bukti nyata dari niat genosida.
Baru-baru ini, Jenderal Giora Eiland yang sudah pensiun, mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Israel, mengatakan dalam sebuah artikel untuk surat kabar Yedioth Ahronoth, Israel tidak punya pilihan selain membuat Gaza tidak layak huni secara sementara atau permanen. Ia mengatakan, "Israel tidak hanya berperang melawan terorisme, tetapi juga melawan seluruh Gaza."
Penggunaan pernyataan "Gaza akan menjadi tempat di mana tidak ada manusia bisa hidup" menunjukkan keberadaan niat genosida.
Baca Juga: Erdogan Desak Netanyahu Diseret ke Mahkamah Pidana Internasional atas Kekejaman Israel di Gaza
Sementara jumlah korban di Gaza sejak dimulainya serangan Israel telah melampaui 14.000, melebihi genosida Srebrenica di mana pasukan Serbia membunuh lebih dari 8.000 warga sipil Bosnia pada Juli 1995, pelaku dalam kedua kasus tersebut mengklaim jumlah korban tewas dibesar-besarkan dan berkilah mereka adalah korban perang.
Meskipun para pelaku dalam kedua kasus tersebut membantah angka kematian yang diberikan dan menyebutnya sebagai korban perang, fakta menunjukkan sebaliknya. Para komandan Serbia, seperti halnya pejabat Israel, menyatakan sebagian besar korban adalah "korban sipil" yang tewas bukan karena menjadi target langsung, tetapi sebagai efek samping dari konflik.
Korban sipil genosida Srebrenica berharap bisa bertahan hidup dengan berlindung di "zona aman" di bawah perlindungan PBB. Demikian pula, banyak yang selamat dari serangan Israel tewas dalam serangan terhadap sekolah PBB dan kamp pengungsi.
Statuta Roma membedakan tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang sebagai kategori terpisah. Genosida didefinisikan dalam Pasal 6, kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7, dan kejahatan perang dalam Pasal 8.
Jika tindakan tersebut tidak dilakukan dengan niat genosida dan terjadi "sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap warga sipil," maka dianggap telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berbeda dengan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak memerlukan "niat" khusus. Kejahatan terhadap kemanusiaan melibatkan kekejaman yang dilakukan terhadap semua warga sipil, tidak hanya kelompok "nasional, etnis, rasial, atau agama."
Kejahatan perang yang dijelaskan dalam Pasal 8 Statuta Roma secara umum serupa dengan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak diperlukan niat khusus untuk kejahatan perang, dan kejahatan itu dapat dilakukan terhadap kelompok warga sipil mana pun.
Berbeda dengan kejahatan perang, genosida mencakup kekejaman yang dilakukan selama perang dan masa damai, sementara kejahatan perang hanya dapat dilakukan pada waktu konflik bersenjata.
Perbedaan antara kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan perang melibatkan tindakan jangka pendek dan tidak memerlukan upaya "sistematis" atau "meluas" seperti dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Baca Juga: KTT Darurat Arab-Islam Tuntut Gencatan Senjata Segera di Gaza, Tuduh Israel Lakukan Kejahatan Perang
Pada 2 September 1998, Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda memvonis Jean-Paul Akayesu atas partisipasinya dalam genosida ketika menjabat sebagai wali kota di Kota Taba. Ini adalah putusan pertama oleh pengadilan internasional atas tuduhan genosida.
Dua hari setelah putusan Akayesu, Pengadilan Rwanda menemukan mantan Perdana Menteri Rwanda, Jean Kambanda, bersalah atas genosida dan menghukumnya dengan penjara seumur hidup.
Pada 2 Agustus 2001, Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslavia menyimpulkan pembunuhan pria muslim Bosnia di Srebrenica melibatkan niat untuk sebagian menghancurkan kelompok muslim Bosnia dan oleh karena itu harus dikategorikan sebagai genosida. Dalam keputusannya, pengadilan menyatakan Radislav Kristic bersalah atas genosida.
Pada 10 Juni 2010, Pengadilan Yugoslavia mengakui genosida yang dilakukan oleh anggota Pasukan Serbia Bosnia terhadap Muslim Bosnia di Timur Bosnia dan menyatakan Vujadin Popovic dan Ljubisa Beara bersalah atas kejahatan lain, termasuk genosida.
Genosida di Srebrenica juga diakui oleh Mahkamah Internasional.
Sementara pengadilan menyimpulkan Serbia melanggar Konvensi Genosida dengan tidak memenuhi kewajibannya untuk mencegah dan menghukum genosida, keputusan ini adalah yang pertama dalam sejarah di mana suatu negara dianggap melanggar konvensi tersebut.
Baca Juga: Palestina Serahkan Bukti Kejahatan Perang Israel ke Pengadilan Kriminal Internasional
Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki kewenangan untuk mengadili individu, dan siapa pun, tanpa memandang jabatannya, dapat diadili atas kejahatan genosida di hadapan pengadilan.
Ini bisa menjadi kepala negara atau pejabat pemerintah yang merencanakan dan memerintahkan pelaksanaan genosida, atau seorang komandan yang melakukan kejahatan atau warga biasa yang membiarkan kejahatan itu terjadi.
Meskipun tidak ada batas waktu untuk kejahatan genosida, sesuai dengan Pasal 29 Statuta Roma, Pasal 33 menyatakan ketaatan terhadap perintah pejabat senior tidak dapat diterima sebagai pembelaan hukum terhadap tuduhan tersebut.
Menurut Pasal 25 Statuta Roma, siapa pun yang melakukan atau mencoba melakukan kejahatan genosida, memerintahkan pelaksanaannya, atau mendorong atau memprovokasi itu, juga dianggap bersalah atas kejahatan genosida. Selain itu, sesuai dengan Pasal 23, dorongan langsung dan publik seseorang kepada orang lain untuk melakukan genosida juga dianggap kejahatan.
Mereka yang membantu pelaksanaan atau percobaan genosida juga dianggap bersalah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat (3)(c) Statuta Roma, siapa pun yang membantu atau mendorong orang lain untuk melakukan atau mencoba melakukan genosida dianggap bersalah atas genosida.
Pasal 25 ayat (3)(f) menyatakan siapa pun yang mencoba melakukan kejahatan itu akan dianggap bersalah, sementara Paragraf (3)(e) Pasal 25 secara khusus terkait dengan tindakan "secara langsung dan terbuka mendorong orang lain untuk melakukan genosida" sebagai kasus kriminal kejahatan genosida.
Melihat pernyataan pejabat Israel, menurut Anadolu, tampaknya rakyat Israel secara terbuka didorong untuk melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. Dalam hal ini, pejabat Israel yang bersangkutan dapat diadili atas genosida, bahkan jika mereka tidak langsung terlibat dalam penembakan atau pengeboman.
Dengan demikian, pejabat Israel dan individu yang terlibat dalam kejahatan genosida terhadap rakyat Gaza, seperti percobaan, bantuan, dorongan, dan segala bentuk kegiatan perencanaan, dapat dianggap ikut serta dalam genosida.
Sumber : Anadolu / International Criminal Court / United Nations
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.