NEW YORK, KOMPAS.TV - Dalam usaha membangun masa depan yang lebih baik, beberapa orang mencari jawaban dari masa lalu yang sangat jauh.
Para pembangun kuno di berbagai belahan dunia menciptakan bangunan yang masih berdiri tegak hingga hari ini, meskipun sudah ribuan tahun berlalu. Mereka ini termasuk insinyur Romawi yang membuat tanggul laut dengan beton tebal, tukang batu Maya menciptakan patung gipsum untuk dewa mereka, hingga arsitek hingga kuli bangunan China kuno yang membangun tembok pertahanan atau tembok China.
Sementara itu, banyak bangunan modern yang lebih baru sudah mulai mengalami kerusakan dan akan usang dalam beberapa puluh tahun ke depan. Beton yang menjadi bagian penting dari dunia modern kita hanya bisa bertahan 50 hingga 100 tahun.
Sejumlah ilmuwan kini tengah mempelajari bahan-bahan yang digunakan dalam bangunan kuno. Mereka memotong bagian-bagian dari bangunan, menyelidiki teks-teks sejarah, dan mencoba meracik resep yang mirip, dengan harapan untuk mengungkap rahasia bagaimana bangunan-bangunan ini tetap kokoh selama ribuan tahun, seperti yang dilaporkan oleh Associated Press, Selasa (3/10/2023).
Penelitian ini menghasilkan daftar bahan-bahan tak terduga yang dicampurkan ke dalam bangunan kuno, seperti kulit pohon, abu vulkanik, beras, bir, dan bahkan urin. Bahan-bahan tambahan yang tak terduga ini tampaknya punya peran penting dalam memberikan sifat-sifat istimewa, seperti kemampuan untuk menjadi lebih kuat seiring waktu dan "memperbaiki diri" ketika ada keretakan.
Menemukan cara meniru sifat-sifat tersebut dapat memberikan dampak nyata pada konstruksi modern. Meskipun beton modern kita memiliki kekuatan untuk mendukung pencakar langit dan infrastruktur berat, namun beton ini tak bisa bersaing dalam hal ketahanan dengan bahan-bahan kuno ini.
Dengan ancaman perubahan iklim yang semakin meningkat, semakin banyak yang mendesak untuk membuat konstruksi lebih ramah lingkungan. Laporan PBB terbaru bahkan memperkirakan lebih dari sepertiga emisi CO2 global berasal dari sektor bangunan, dan produksi semen sendiri menyumbang lebih dari 7% dari emisi tersebut.
"Jika kita bisa memperbaiki sifat-sifat bahan dengan menggunakan resep tradisional seperti yang digunakan oleh orang Maya atau orang China kuno, kita bisa menghasilkan material yang bisa digunakan dalam konstruksi modern dengan cara yang lebih berkelanjutan," kata Carlos Rodriguez-Navarro, seorang peneliti warisan budaya di Universitas Granada Spanyol.
Baca Juga: Mosaik Kristen Kuno Berusia 1.800 Tahun di Lembah Armageddon Mau Diboyong ke AS, Picu Kontroversi
Itu menjadi pertanyaan banyak peneliti. Mulai sekitar tahun 200 SM, arsitek Kekaisaran Romawi membangun struktur beton yang luar biasa dan tetap berdiri tegak hingga hari ini, termasuk kubah megah Pantheon dan jalur air yang kokoh dan mampu mengalirkan air hingga detik ini.
Bahkan di pelabuhan, tempat air laut telah menghantam bangunan selama berabad-abad, Anda akan menemukan beton yang "hampir sama dengan kondisinya saat pertama kali dicor 2.000 tahun lalu," kata John Oleson, seorang arkeolog di Universitas Victoria di Kanada.
Sebagian besar beton modern dimulai dengan bahan dasar semen Portland, yaitu serbuk yang terbuat dari pemanasan batu kapur dan tanah liat pada suhu super tinggi, lalu digiling. Semen ini dicampur dengan air untuk membentuk pasta yang bereaksi kimia. Kemudian, potongan-potongan material seperti batu dan kerikil ditambahkan, dan pasta semen mengikatnya menjadi massa beton.
Menurut catatan dari arsitek kuno seperti Vitruvius, proses Romawi juga mirip. Mereka mencampurkan bahan seperti batu kapur bakar dan pasir vulkanik dengan air dan kerikil, menciptakan reaksi kimia yang mengikat semua bahan bersama-sama.
Sekarang, para ilmuwan berpikir mereka menemukan alasan utama mengapa beberapa beton Romawi dapat bertahan selama ribuan tahun: Bahan kuno ini punya kemampuan unik untuk memperbaiki diri. Bagaimana caranya belum begitu jelas, tetapi para ilmuwan mulai menemukan petunjuk-petunjuk.
Dalam penelitian yang diterbitkan awal tahun ini, Admir Masic, seorang insinyur sipil dan lingkungan di Institut Teknologi Massachusetts, mengusulkan bahwa kemampuan ini berasal dari potongan-potongan kapur yang tersebar di seluruh material Romawi, bukan dicampurkan merata. Sebelumnya, para peneliti mengira potongan-potongan ini adalah tanda bahwa Romawi tidak mencampur bahan mereka dengan baik.
Namun, setelah menganalisis sampel beton dari Privernum, sebuah kota kuno di luar Roma, para ilmuwan menemukan potongan-potongan tersebut bisa menjadi bagian dari kemampuan "memperbaiki diri" dari bahan tersebut. Ketika ada keretakan, air dapat meresap ke dalam beton, jelas Masic. Air ini mengaktifkan sisa-sisa kapur yang tersisa, memicu reaksi kimia baru yang dapat mengisi bagian yang rusak.
Baca Juga: Peneliti: Manusia Punya Sepupu Kuno dengan Makhluk Otak Mungil yang Menguburkan Jenazah Kerabat
Marie Jackson, seorang ahli geologi di Universitas Utah, punya pandangan yang berbeda. Penelitiannya menemukan bahwa kunci mungkin terletak pada bahan vulkanik tertentu yang digunakan oleh Romawi.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.