JAKARTA, KOMPAS.TV - Otoritas Singapura akan menghukum gantung dua orang narapidana, salah satunya adalah seorang perempuan, untuk pertama kalinya dalam 19 tahun terakkhir.
Perempuan itu dikabarkan tersangkut kasus narkoba, sementara eksekusi mati dilakukan di tengah seruan kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) yang meminta eksekusi mati dihentikan.
Organisasi HAM setempat, Transformative Justice Collective (TJC) mengatakan, tahanan perempuan yang akan dieksekusi bernama Saridewi Djamani (45).
Dia dijatuhi hukuman mati pada 2018 karena memperdagangkan sekitar 30 gram heroin, dan akan dieksekusi pada Jumat (28/7/2023) besok di Penjara Changi, Singapura.
Saridewi Djamani akan menjadi perempuan pertama yang dieksekusi di Singapura sejak 2004.
Narapidana lainnya adalah seorang pria yang sudah dieksekusi pada Rabu (26/7) kemarin, atas nama Mohammed Aziz Hussain, 56 tahun.
Mohammed Aziz Hussain, 56 tahun, digantung di Penjara Changi Singapura dan telah dimakamkan. Ia dijatuhi hukuman mati karena memperdagangkan 50 gram (1,76 ons) heroin.
Baca Juga: Saat Singapura Diguncang Kasus Korupsi, Menteri hingga Konglomerat pun Ditangkap, Ini Identitasnya
Aktivis Kirsten Han dari Transformative Justice Collective mengatakan, perempuan terakhir yang diketahui telah digantung di Singapura adalah penata rambut Yen May Woen berusia 36 tahun, juga karena penyelundupan narkoba, pada tahun 2004.
Kelompok hak asasi manusia, pengusaha Inggris Richard Branson dan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendesak Singapura untuk menghentikan eksekusi terkait narkoba karena semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa hukuman mati tidak efektif sebagai pencegahan.
Tetapi, pihak berwenang Singapura bersikeras bahwa semua tahanan mendapatkan proses hukum dan bahwa hukuman mati tetap menjadi kunci untuk membantu menghentikan permintaan dan pasokan narkoba.
Pernyataan bersama oleh Transformative Justice Collective dan kelompok lain mencatat, Menteri Hukum Singapura K Shanmugam dilaporkan mengakui dalam wawancara tahun 2022 bahwa kebijakan keras Singapura terhadap narkoba tidak mengarah pada penangkapan yang disebut sebagai gembong narkoba.
"Alih-alih mengganggu kartel narkoba, pemerintah Singapura dengan sengaja mempertahankan undang-undang narkoba yang, dalam praktiknya, beroperasi untuk menghukum pengedar dan kurir tingkat rendah, yang biasanya direkrut dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan dengan kerentanan yang saling bersinggungan," kata pernyataan itu dikutip dari Associated Press, Rabu (26/7).
TJC menyebut Singapura tidak sejalan dengan tren global di mana lebih banyak negara menjauhi hukuman mati.
Sebagai contoh, negara tetangga Thailand telah melegalkan ganja, dan Malaysia mengakhiri hukuman mati wajib untuk kejahatan berat tahun ini.
Kelompok-kelompok itu mendesak Singapura untuk menghentikan semua eksekusi dan sebagai gantinya melakukan langkah-langkah efektif untuk menangani perdagangan narkoba secara manusiawi di negara tersebut.
Baca Juga: Daftar Paspor Terkuat Dunia 2023: Singapura Geser Jepang dari Puncak!
Sumber : Kompas TV/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.