TOKYO, KOMPAS.TV - Angka kelahiran Jepang menurun untuk tahun ketujuh berturut-turut tahun 2022 menjadi rekor terendah, kini hanya sebesar 1,26, seperti diumumkan Kementerian Kesehatan Jepang, Jumat (2/6/2023).
Penduduk Jepang saat ini lebih dari 125 juta jiwa, namun mengalami penurunan selama 16 tahun terakhir dan diproyeksikan turun menjadi 87 juta jiwa tahun 2070.
Penurunan angka kelahiran itu semakin mempercepat kebutuhan akan langkah-langkah dari pemerintah dalam menghadapi penurunan angka kelahiran sekaligus penuaan penduduk yang terjadi dengan cepat di negara ini.
Seperti yang dilaporkan oleh Associated Press, Jumat (2/6/2023), jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan sepanjang hidupnya turun menjadi 1,26 tahun 2022 dari 1,30 pada tahun sebelumnya, menyamai rekor terendah yang terjadi pada tahun 2005, berdasarkan statistik populasi tahunan.
Angka kesuburan ini jauh di bawah tingkat 2,06 - 2,07 yang dianggap diperlukan untuk menjaga keberlanjutan populasi.
Penurunan dan penuaan penduduk memiliki implikasi besar bagi ekonomi dan keamanan nasional, terutama ketika Jepang memperkuat militer untuk menanggapi ambisi wilayah yang semakin tegas dari China.
Baca Juga: Jumlah Kelahiran di Amerika Serikat pada Tahun 2022 Anjlok, Tidak Kembali ke Tingkat Pra-Pandemi
Jumlah bayi yang lahir di Jepang juga turun 5% menjadi 77.747 bayi tahun 2022 lalu, merupakan rekor terendah lainnya, seperti disampaikan Kementerian Kesehatan Jepang.
Jumlah kematian melonjak 9% menjadi 1,57 juta jiwa, sementara populasi mengalami penurunan sebesar 798.214 jiwa, memperpanjang tren penurunan selama 16 tahun.
Perdana Menteri Fumio Kishida menetapkan penanganan penurunan kelahiran sebagai salah satu tujuan kebijakan utamanya dan berjanji untuk mengenalkan langkah-langkah drastis lebih lanjut.
"Kesempatan terakhir bagi kita untuk membalikkan penurunan kelahiran adalah sebelum populasi muda diperkirakan akan turun secara drastis pada tahun 2030," kata Kishida kepada sebuah panel ahli yang ditugaskan untuk menyusun paket langkah-langkah pada pertemuan Kamis lalu.
Pemerintah berencana mengamankan pendanaan tahunan sekitar 3,5 triliun yen (USD25,2 miliar) selama tiga tahun ke depan untuk paket perawatan anak yang mencakup tunjangan kelahiran dan pengasuhan anak, serta peningkatan subsidi untuk pendidikan tinggi.
Pemerintahan Kishida mengatakan, akan merumuskan langkah-langkah konkret dan mengamankan pendanaan tersebut hingga akhir tahun.
Baca Juga: Fenomena Banyak Sekolah Tutup di Jepang, Imbas Menurunnya Tingkat Kelahiran
Para ahli mengatakan langkah-langkah yang diusulkan sebagian besar adalah penambahan pendanaan untuk anggaran yang sudah ada dan tidak mengatasi masalah mendasar.
Banyak kaum muda Jepang enggan menikah atau punya keluarga karena prospek pekerjaan yang suram, budaya korporasi yang tidak sesuai dengan hidup berkeluarga, terutama bagi perempuan yang bekerja, serta kurangnya toleransi publik terhadap anak kecil. Banyak pasangan juga ragu untuk punya anak karena biaya yang meningkat.
Jepang adalah ekonomi terbesar ketiga di dunia, tetapi biaya hidupnya tinggi, kenaikan upah lambat, dan sekitar 40% penduduk Jepang bekerja paruh waktu atau sebagai pekerja kontrak.
Para pengkritik mengatakan pemerintah Jepang tertinggal dalam membuat masyarakat lebih inklusif bagi anak-anak, perempuan, dan minoritas.
Di bawah partai pemerintah yang konservatif yang mendukung nilai-nilai keluarga tradisional dan peran gender, perempuan yang belum menikah atau tidak punya anak cenderung kurang dihormati, dan pernikahan merupakan syarat mutlak untuk memiliki anak.
Sejauh ini, upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat agar punya lebih banyak anak belum berdampak signifikan meskipun adanya subsidi untuk kehamilan, kelahiran, dan perawatan anak.
Sumber : Associated Press / Kyodo
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.