KHARTOUM, KOMPAS.TV - Jenderal tertinggi Sudan Abdel Fattah Burhan, Jumat (21/4/2023), menyatakan komitmen militer untuk pemerintahan yang dipimpin sipil, dalam upaya nyata untuk mendapatkan dukungan internasional beberapa hari setelah pertempuran brutal antara pasukannya dengan kelompok paramiliter yang menggagalkan harapan untuk transisi demokrasi di negara itu.
Dalam pidato pertama sejak konflik melanda Sudan hampir seminggu yang lalu, Kepala Angkatan Darat Jenderal Abdel Fattah Burhan berjanji militer akan menang dan memastikan "transisi yang aman menuju pemerintahan sipil".
Namun bagi banyak warga Sudan, klaim Burhan terdengar hampa 18 bulan setelah ia bergabung dengan saingannya saat ini untuk merebut kekuasaan dalam kudeta yang mengesampingkan kekuatan pro-demokrasi Sudan.
Pernyataan Burhan muncul pada perayaan Idulfitri yang menandai akhir Ramadan dan bulan puasa.
"Kami yakin akan mengatasi kesulitan ini dengan pelatihan, kebijaksanaan, dan kekuatan kami," kata Burhan, berjanji untuk menjaga "keamanan dan persatuan negara."
Liburan ini, biasanya dipenuhi dengan doa, perayaan, dan makan-makan, menjadi hari yang suram di Sudan, ketika tembakan menggema di seluruh ibu kota Khartoum dan asap tebal membubung di langit.
"Alih-alih bangun oleh suara azan, warga di Khartoum bangun dengan suara senjata berat dari pertempuran," kata Duta Besar Norwegia untuk Sudan, Endre Stiansen. "Apakah ada neraka yang lebih mengerikan dari ini?"
Masjid mengadakan salat Id massal di dalam masjid untuk melindungi jemaah dari pertempuran yang semakin sengit.
Baca Juga: Sudan Semakin Membara, Sekjen PBB Minta Gencatan Senjata Tiga Hari untuk Peringati Idulfitri
Kekerasan dan pertempuran telah menewaskan 413 orang dan melukai 3.551 orang lainnya, menurut jumlah korban terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia WHO, termasuk sedikitnya 9 anak yang tewas dan 50 terluka dalam pertempuran, kata UNICEF.
Dallia Abdelmoniem, seorang tukang roti berusia 37 tahun dari Khartoum, melarikan diri dengan keluarganya pada Kamis setelah roket membelah atap rumahnya. Jalan ke pinggiran kota dipenuhi dengan mayat. Abdelmoniem menutup mata keponakan-keponakannya.
"Tidak ada tempat yang aman lagi di Khartoum," katanya dari tempat persembunyiannya di luar ibu kota, di mana dia masih bisa mendengar raungan artileri dan tembakan pada Jumat. "Prioritas utama kami adalah hanya untuk tetap hidup."
Ledakan-ledakan yang mengguncang Khartoum menyusul seruan internasional untuk gencatan senjata menjelang perayaan Hari Raya Idulfitri umat muslim.
Setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Menlu Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mendesak penghentian kekerasan, dan dilaporkan Pasukan Dukungan Cepat, paramiliter Sudan, berjanji menghentikan pertempuran selama tiga hari menjelang Idul Fitri untuk memberikan kesempatan evakuasi dan koridor aman. Namun, tidak ada respons dari militer yang dipimpin oleh Burhan.
Usulan gencatan senjata semacam itu telah runtuh berulang kali dalam seminggu terakhir.
Dua jenderal yang bersaing untuk menguasai negara Afrika yang luas ini juga bersaing untuk diterima oleh kekuatan asing, yang menyatakan dukungan mereka kepada warga Sudan yang menginginkan transisi ke pemerintahan sipil.
Baca Juga: Ini Alasan Kenapa Konflik di Sudan jadi Masalah Baru yang Bisa Bikin Pening Dunia
Baik Burhan maupun saingannya, Komandan Pasukan Dukungan Cepat RSF Mohammad Hamdan Dagalo, berusaha menggambarkan diri mereka sebagai pendukung demokrasi.
Pada tahun 2019, mereka berbalik melawan diktator lama Omar al-Bashir dan menggulingkannya dari jabatan kekuasaan dalam sebuah pemberontakan rakyat.
Namun, sejak saat itu, mereka gagal melaksanakan perjanjian untuk menyerahkan kekuasaan. Pasukan mereka menghancurkan protes pro-demokrasi, dan pada tahun 2021 mereka bersama-sama melakukan kudeta yang menggulingkan pemerintahan transisi dan mengokohkan mereka sebagai pemimpin paling berkuasa di Sudan.
Ledakan kekerasan saat ini antara mereka terjadi setelah Burhan dan Dagalo berselisih tentang kesepakatan terbaru yang dimediasi oleh komunitas internasional dengan aktivis demokrasi yang dimaksudkan untuk menggabungkan RSF ke dalam militer dan akhirnya menuju pemerintahan sipil.
Sejak hari Sabtu, militer dan RSF tidak menunjukkan tanda-tanda untuk meredakan pertempuran mereka. Militer pada hari Kamis menolak negosiasi dengan RSF, mengatakan mereka hanya akan menerima penyerahan diri RSF.
Kekerasan ini mendorong penduduk Sudan ke ambang kehancuran dan membuka babak hitam dan kacau dalam sejarah negara ini.
Ketakutan semakin meningkat bahwa kekacauan di negara yang berlokasi strategis ini dapat melibatkan negara tetangganya, termasuk Chad, Mesir, dan Libya.
Baca Juga: Keadaan Makin Gawat di Sudan, Militer AS Siapkan Evakuasi Staf dan Keluarga dari Kedutaan Besar
Serangan bom dan tembakan penembak jitu telah menghantam infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, dalam seminggu terakhir.
Serangan bom dan tembakan sniper telah menghantam infrastruktur sipil termasuk rumah sakit dalam seminggu terakhir. Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada hari Jumat, (21/4/2023) mengutuk apa yang ia sebut sebagai serangan "yang sangat tidak pantas" terhadap fasilitas kesehatan, dengan mengatakan serangan itu "tidak hanya membahayakan nyawa para pekerja kesehatan tetapi juga merampas pelayanan medis yang sangat diperlukan bagi warga yang rentan."
Juru bicara WHO, Margaret Harris, mengatakan kepada wartawan di Jenewa bahwa kekerasan telah memaksa 20 fasilitas kesehatan di seluruh Sudan untuk berhenti beroperasi.
Menurut UNICEF, sekitar satu lusin rumah sakit lainnya terancam harus ditutup, yang mengancam sekitar 50.000 anak yang mengalami malnutrisi parah di Sudan yang mengandalkan pemberian makanan melalui tabung untuk bertahan hidup.
Baik militer maupun RSF punya sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia di Sudan. RSF lahir dari milisi Janjaweed, yang dituduh melakukan kekejaman massal ketika pemerintah mengirim mereka untuk menghadapi pemberontakan di wilayah Darfur di Sudan barat pada awal 2000-an.
"Benar-benar sulit untuk tetap tenang," kata Abdelmoniem, menggambarkan kelangkaan bahan bakar, obat-obatan, uang tunai, dan makanan yang menyebabkan keputusasaan di sebagian besar Khartoum.
"Orang-orang mengucapkan 'Selamat Idulfitri' padaku," tambahnya. "Tapi kemudian aku menyalakan berita."
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.