Dr Ahmed merupakan ahli bedah residen di Rumah Sakit Al-Shifa, yang didukung oleh yayasan Masyarakat Medis Suriah-Amerika (SAMS).
Ia mengatakan telah menerima lebih dari 200 pasien, setelah gempa tersebut.
Dr Ahmed juga merawat seorang penyintas berusia 18 bulan yang dibawa oleh penyelamat.
Ia kemudian memeriksanya dan menemukan bahwa kondisi bocah itu baik-baik saja.
Namun, kemudian ia menyadari orang tua anak itu tak bersamanya.
“Tiba-tiba ayahnya berlari ke arahnya dan memeluknya, menangis bersenggukan,” ujarnya.
“Ayahnya mengatakan kepada saya bahwa ia adalah satu-satunya penyintas di keluarganya. Sisa keluarganya telah terbaring di luar koridor, tewas,” ucapnya.
Ia pun menegaskan bahwa yang dirasakannya setelah gempa, adalah situasi terburuk yang dialami seorang dokter.
“Masa terburuk yang dialami seorang dokter adalah dalam situasi seperti ini. Ketika Anda tak mampu menyelamatkan pasien, atau mengurangi rasa sakit seseorang. Itu adalah hal terburuk yang bisa Anda rasakan,” ujarnya,
Saat menangani pasien, Dr Ahmed juga harus menghadapi ketidaktahuan atas kondisi keluaraganya, karena pasokan listrik dan internet putus.
Baca Juga: Jumlah Korban Jiwa Gempa di Turki Lewati 12.000, Erdogan Mengaku Sempat Tak Siap Menghadapinya
Orang tua dan keluarganya tinggial beberapa ratus meter dari rumah sakit.
Namun, istri dan anak-anaknya hidup di seberang perbatasan di selatan Turki, Kota Gaziantep, yang dekat dengan pusat gempa dan terdampak parah.
“Perasaan terburuk yang Anda miliki saat krisis saat ini tak tahu apakah keluarga dan orang yang Anda cintai baik-baik saja,” katanya.
“Kami melihat pasien dengan dua mata, satu untuk menilai cedera mereka, dan yang lainnya untuk melihat apakah pasien anggota keluarga atau bukan,” kata Dr Ahmed.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.