MANILA, KOMPAS.TV — Hampir 100 orang tewas dalam salah satu badai paling merusak yang melanda Filipina tahun ini pada pekan lalu. Selain itu, puluhan orang lainnya dikhawatirkan hilang setelah penduduk desa melarikan diri ke arah yang salah dan terkubur dalam tanah longsor yang sarat batu.
Warga mengira air pasang gelombang datang dari arah laut dan banyak yang berlari untuk menghindari tsunami ke arah gunung. Ternyata bencana datang justru dari longsoran gunung.
Jumlah korban tewas hingga saat ini mencapai 98 orang. Sebanyak 53 di antaranya berasal dari provinsi Maguindanao, yang berada di wilayah otonomi Muslim, yang dibanjiri hujan lebat yang luar biasa yang dipicu oleh Badai Tropis Nalgae. Badai bertiup ke Laut Cina Selatan pada hari Minggu, meninggalkan jejak kehancuran yang besar.
Tim penyelamat yang dilengkapi dengan buldoser dan backhoe melanjutkan penyelamatan mereka hingga hari ini di desa Kusiong selatan di Maguindanao. Sebanyak 80 hingga 100 orang, termasuk seluruh keluarga, dikhawatirkan telah terkubur oleh tanah longsor yang sarat batu atau hanyut.
Baca Juga: Mengenal 3 Kasino Tempat Langganan Lukas Enembe Berjudi di Singapura, Malaysia dan Filipina
“Banjir bandang dimulai sejak Kamis malam,” kata Naguib Sinarimbo, yang merupakan Menteri Dalam Negeri untuk wilayah otonomi Bangsamoro yang dijalankan oleh mantan gerilyawan separatis di bawah pakta perdamaian.
Lebih dari 1,9 juta orang terkena dampak dari badai, termasuk lebih dari 975.000 penduduk desa yang mengungsi ke pusat evakuasi atau rumah kerabat. Lebih dari 4.100 rumah dan 16.260 hektar padi dan tanaman lainnya rusak akibat banjir pada saat negara itu bersiap menghadapi krisis pangan yang mengancam karena gangguan pasokan global.
Sinarimbo mengatakan penghitungan resmi orang hilang mungkin masih akan bertambah, karena dikhawatirkan ada banyak orang yang hilang sekeluarga dalam tanah longsor besar yang melanda Kusiong. Seluruh keluarga mungkin telah terkubur dan tidak ada anggota yang tersisa untuk memberikan nama dan rincian orang hilang kepada pihak berwenang.
Bencana di Kusiong, yang sebagian besar dihuni oleh kelompok etnis minoritas Teduray, sangat tragis karena lebih dari 2.000 penduduk desanya telah melakukan latihan kesiapsiagaan bencana setiap tahun selama beberapa dekade untuk bersiap menghadapi tsunami karena sejarah yang mematikan. “Tapi mereka tidak siap menghadapi bahaya yang bisa datang dari Gunung Minandar, di mana desa mereka terletak di kaki bukit,” kata Sinarimbo.
“Ketika orang-orang mendengar lonceng peringatan, mereka berlari dan berkumpul di sebuah gereja di tempat yang tinggi,” kata Sinarimbo kepada The Associated Press pada hari Sabtu, mengutip laporan dari penduduk desa Kusiong.
“Masalahnya kini bukan tsunami yang menggenangi mereka, tetapi air dan lumpur yang turun dari gunung dalam volume besar,” katanya.
Pada bulan Agustus 1976, gempa bumi berkekuatan 8,1 dan tsunami di Teluk Moro yang melanda sekitar tengah malam menyebabkan ribuan orang tewas dan menghancurkan provinsi-provinsi pesisir dalam salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah Filipina.
Baca Juga: Presiden Filipina: Ayah Saya Bukan Diktator, Terapkan Darurat Militer untuk Redam Pemberontakan
Terletak di antara Teluk Moro dan Gunung Minandar setinggi 446 meter, Kusiong termasuk yang paling parah terkena bencana tahun 1976. Desa ini tidak pernah melupakan tragedi tersebut. Penduduk desa tua yang selamat dari tsunami dan gempa bumi yang dahsyat menyampaikan kisah mimpi buruk itu kepada anak-anak mereka, memperingatkan mereka untuk bersiap-siap.
“Setiap tahun, mereka mengadakan latihan untuk mengantisipasi tsunami. Seseorang ditugaskan untuk membunyikan bel alarm dan mereka menunjuk tempat tinggi di mana orang harus lari, ”kata Sinarimbo. “Warga desa bahkan diajari suara ombak besar yang mendekat berdasarkan ingatan para penyintas tsunami.”
"Tapi tidak ada banyak fokus pada bahaya geografis di lereng gunung," katanya.
Sumber : The Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.