Kompas TV internasional krisis rusia ukraina

Presiden Zelenskyy: Tidak ada Perundingan dengan Putin jika Rusia Aneksasi Tanah Ukraina

Kompas.tv - 28 September 2022, 15:43 WIB
presiden-zelenskyy-tidak-ada-perundingan-dengan-putin-jika-rusia-aneksasi-tanah-ukraina
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy bicara di Dewan Keamanan PBB 27 September 2022 (Sumber: AP Photo/Bebeto Matthews)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Gading Persada

NEW YORK, KOMPAS.TV — Presiden Ukraina hari Rabu (28/9/2022) memperingatkan bahwa Rusia baru saja menyelesaikan "referendum palsu" dan upaya Rusia mencaplok wilayah Ukraina membuat perundingan dengan Moskow menjadi mustahil selama Vladimir Putin tetap menjadi presiden Rusia.

Zelenskyy seperti laporan Associated Press, menyerukan "isolasi penuh" Rusia dan kebijakan baru dan sanksi global yang lebih keras.

Berbicara kepada Dewan Keamanan PBB melalui tautan video atas keberatan Rusia, Volodymyr Zelenskyy mendesak tambahan militer dan dukungan keuangan untuk membela Ukraina "sehingga agresor akan kalah," dan "jaminan keamanan kolektif yang jelas dan mengikat secara hukum" untuk negaranya sebagai tanggapan terhadap tindakan Rusia yang bagi Zelenskyy adalah mencaplok wilayah Ukraina.

Referendum, yang dikecam oleh Kyiv dan sekutu Baratnya sebagai kecurangan, berlangsung di wilayah Luhansk dan Kherson yang dikuasai Rusia, dan di wilayah yang diduduki di wilayah Donetsk dan Zaporizhzhia.

Tindakan Rusia secara luas dipandang sebagai dalih untuk mengumumkan bahwa Rusia mencaplok wilayah tersebut, seperti halnya mencaplok Krimea pada tahun 2014.

Pejabat pro-Moskow mengatakan Selasa malam bahwa penduduk di keempat wilayah yang diduduki Ukraina memilih untuk bergabung dengan Rusia.

Hasil referendum yang akan mengintegrasikan keempat wilayah di Ukraina Timur ke dalam Rusia akan mengatur panggung untuk fase baru yang lebih berbahaya dalam perang tujuh bulan antara Rusia dan Ukraina. 

Baca Juga: Inilah yang akan Terjadi setelah Referendum Ukraina Timur yang Dikuasai Rusia

Pemilih di wilayah Donetsk dalam referendum untuk bergabung dengan Rusia. Referendum yang diadakan oleh otoritas yang dibentuk Kremlin di empat wilayah pendudukan Ukraina memasuki hari terakhirnya pada Selasa (Sumber: Straits Times)

Ukraina meminta pertemuan darurat Dewan Keamanan untuk menanggapi referendum, dan pengumuman aneksasi yang diperkirakan dari Rusia.

"Setiap pencaplokan di dunia modern adalah kejahatan, kejahatan terhadap semua negara yang menganggap perbatasan yang tidak dapat diganggu gugat menjadi vital bagi diri mereka sendiri," kata Zelenskyy.

Dia menuduh Rusia menghancurkan "badan utama hukum internasional," dan menanggapi "setiap proposal untuk pembicaraan dengan kebrutalan baru di medan perang, dengan krisis dan ancaman yang lebih besar ke Ukraina dan dunia."

"Pengakuan Rusia terhadap referendum palsu ini ada presedennya, implementasi dari apa yang disebut skenario Krimea dan upaya mencaplok wilayah Ukraina, yang akan berarti tidak ada yang perlu dibicarakan dengan presiden Rusia ini," kata Zelenskyy.

"Aneksasi adalah jenis langkah yang menempatkan dia sendirian melawan seluruh umat manusia."

Banyak anggota Dewan Keamanan mencela referendum dan menekankan bahwa setiap pencaplokan wilayah tidak akan pernah diakui.

Kepala politik PBB Rosemary DiCarlo mengatakan pemungutan suara atau referendum berlangsung di pusat-pusat pemungutan suara dan "otoritas de facto disertai oleh tentara juga pergi dari pintu ke pintu dengan kotak suara."

Baca Juga: Putin Klaim Rusia Ingin Selamatkan Rakyat di 4 Wilayah Ukraina lewat Referendum

Dubes Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia di Dewan Keamanan PBB mendengarkan pidato Zelenskyy (Sumber: AP Photo/Bebeto Matthews)

"Mereka tidak bisa disebut sebagai ekspresi asli dari keinginan rakyat," katanya kepada DK-PBB.

"Tindakan sepihak yang bertujuan untuk memberikan legitimasi pada upaya akuisisi secara paksa oleh satu negara atas wilayah negara lain, sementara mengklaim mewakili kehendak rakyat, tidak dapat dianggap sah menurut hukum internasional."

Wakil duta besar Inggris, James Kariuki, menyebut referendum itu "ilegal dan tidak sah" dan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina serta prinsip-prinsip Piagam PBB.

Duta Besar Albania Ferit Hoxha mengatakan referendum adalah ulangan dari skrip yang digunakan Rusia di Krimea, bertentangan dengan konstitusi Ukraina dan "tidak ada hubungannya dengan demokrasi, tidak ada hubungannya dengan kehendak bebas Ukraina."

Duta Besar AS Linda Thomas-Greenfield mengumumkan AS dan Albania akan segera mengedarkan resolusi Dewan Keamanan yang akan mengutuk "referenda palsu," menyerukan semua negara untuk tidak mengakui status referendum, dan menuntut penarikan segera pasukan Rusia dari Ukraina

Resolusi itu pasti akan menghadapi veto Rusia, "tetapi kami berharap dewan lainnya berdiri teguh dan menolak untuk menerima gambar ulang perbatasan," katanya.

Duta Besar AS mengatakan dia mengharapkan Dewan Keamanan memberikan suara pada resolusi akhir pekan ini atau awal pekan depan.

Baca Juga: Intelijen Inggris: usai Referendum, Putin Berencana Umumkan Aneksasi Empat Daerah Ukraina Pekan Ini

Pemimpin separatis Republik Rakyat Luhansk Leonid Pasechnik menunjukkan surat suaranya ketika memilih di TPS referendum bergabungnya Luhansk ke Rusia di Luhansk, Selasa (27/9/2022). (Sumber: Associated Press)

Thomas-Greenfield mengatakan jika Rusia menggunakan hak vetonya, AS dan Albania akan membawa resolusi tersebut ke Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara, di mana tidak ada hak veto, "untuk mengirim pesan yang jelas ke Moskow."

Majelis Umum mengadopsi dua resolusi pada bulan Maret, dengan dukungan dari sekitar 140 negara, menuntut segera diakhirinya operasi militer Rusia dan penarikan pasukannya, dan menyalahkan Moskow atas krisis kemanusiaan yang kini melanda banyak negara terutama di negara berkembang berupa kekurangan makanan dan energi, harga yang lebih tinggi dan inflasi yang meningkat.

Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, mengklaim 100 pengamat internasional independen dari 40 negara mengamati referendum, "dan mereka sangat terkejut dengan antusiasme rakyat."

Dia menuduh pasukan Ukraina menggunakan "kekuatan militer" Barat dalam meningkatkan serangan artileri dan menembaki kota-kota di mana ada referendum "untuk menabur kepanikan di antara warga dan membuat upaya sia-sia untuk pemungutan suara."


 

Nebenzia mengklaim tujuan Barat dalam mendukung Ukraina dan datang ke perbatasan Rusia "adalah untuk melemahkan dan menggembosi Rusia sebanyak mungkin."

"Mimpi mereka adalah memecah Rusia dan tunduk pada keinginannya sendiri," katanya.

Menyinggung kemungkinan lebih banyak referendum dan aneksasi, ia menyebut situasi di Ukraina "mengerikan" dan mengklaim bahwa Kiev telah ditolak tidak hanya oleh rakyat Krimea dan Donbass tetapi juga wilayah Kherson dan Zhaporizhzhia.

"Proses ini akan berlanjut jika Kyiv tidak menyadari kesalahannya dan kesalahan strategisnya dan tidak mulai dipandu oleh kepentingan rakyatnya sendiri, dan tidak secara membabi buta melaksanakan kehendak orang-orang yang memainkannya," kata Nebenzia.




Sumber : Kompas TV/Associated Press




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x