MOSKOW, KOMPAS.TV - Seorang ibu di Rusia bernama Marina, bukan nama sebenarnya, marah atas apa yang dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin yang mengirim putranya berperang ke Ukraina.
Dua putra Marina merupakan peserta wajib militer Rusia pada musim dingin lalu.
Marina ketika itu menyambut baik anaknya mengikuti wajib militer karena menganggapnya sebagai tugas negara.
Namun, beberapa pekan kemudian, ia mulai khawatir, mengingat anaknya ditugaskan di area yang berbatasan dengan Ukraina.
Baca Juga: Sekutu Putin, Ramzan Kadyrov Buat Pesan Menyeramkan: Ukraina Selesai, Tertarik dengan Polandia
Pada saat Putin memerintahkan penyerangan Ukraina, Marina pun kehilangan kontak dengan kedua putranya.
“Waktu berhenti untuk saya. Saya tak bisa makan, tak bisa tidur. Saya bertukar pesan dengan ibu dari peserta wajib militer lainnya di unit yang sama,” katanya dilansir dari BBC.
“Ternyata banyak dari mereka kehilangan kontak dengan putra mereka juga,” tambah Marina.
Pemerintah Rusia sebelumnya berjanji peserta wajib militer Rusia tak akan dikirim ke Ukraina.
Setelah terus mencari tahu keberadaan putranya, Marina pun akhirnya mengetahui di mana kedua putranya berada.
Seseorang di unit militer putranya mengakui bahwa mereka telah dikirim ke Ukraina.
Ia mengatakan, orang itu mengungkapkan bahwa kedua putranya telah menandatangani kontrak untuk menjadi prajurit profesional.
Sumber tersebut mengatakan mereka telah ambil bagian pada operasi militer khusus (di Ukraina).
Sumber itu juga menjanjikan kedua anak Marina akan kembali ke Rusia sebagai pahlawan.
“Apa yang Anda katakan? Mereka tak memiliki rencana menandatangani kontrak,” respons Marina ke sumber tersebut.
“Mereka baru tiga bulan di ketentaraan. Mereka hanya sekali memegang senjata. Mereka hanya sekali menembak di lapangan tembak. Kebanyakan mereka hanya menggali salju,” tambahnya.
Baca Juga: TV Rusia Klaim Inggris di Ambang Bencana Kanibalisme, Disebut akibat Dukung Sanksi untuk Moskow
Marina pun kemudian menulis surat kepada kantor Kejaksaan Umum untuk menginvestigasi hal itu.
“Saya mengatakan kepada mereka tak mungkin putra saya menandatangani kontrak. Saya yakin. Ibu yang lain juga menuliskan hal yang sama. Mereka mengenal anak-anak mereka,” ujarnya.
Rusia bergantung pada wajib militer untuk meningkatkan jumlah pasukan di angkatan bersenjata.
Wajib militer berlangsung selama 12 bulan, dan dengan beberapa pengecualian, wajib bagi pria Rusia berusia antara 18 dan 27 tahun.
Pada 5 Maret, Presiden Putin mengumumkan bahwa hanya tentara profesional, perwira dan prajuritt kontrak yang ambil bagian dalam operasi di Ukraina.
Ia pun menegaskan tak akan menggunakan peserta wajib militer di Ukraina.
Tetapi empat hari kemudian, Kementerian Pertahanan Rusia mengakui untuk pertama kalinya bahwa peserta wajib militer termasuk di antara personel yang terlibat dalam serangan Rusia ke Ukraina.
Kementerian mengeklaim bahwa hampir semua prajurit seperti itu telah diterjunkan ke Ukraina.
Keluhan resmi Marina akhirnya ditegakkan, dan pihak berwenang Rusia mengonfirmasikan bahwa putra-putranya tak menandatangani kontrak militer.
Kedua putranya pun dikembalikan ke Rusia.
Ia mengungkapkan bahwa ia melihat kedua putranya dalam keadaan yang buruk.
Baca Juga: Putin: Barat Tidak Akan Pernah Sukses Memutus Rusia, Selalu Ada Cara Mengejar Kebijakan Independen
“Mereka yang kembali dari sana sangat kurus, kotor dan kelelahan. Pakaian mereka hancur,” katanya.
“Putra saya mengatakan, ‘Lebih baik Anda tak tahu apa yang terjadi di sana’. Tapi yang terpenting mereka kembali kepada saya,” tambahnya.
Marina merasa marah atas apa yang telah terjadi.
“Mereka berbohong langsung di depan muka saya. Pertama, mereka berbohong putra saya tak ke Ukraina. Mereka berbohong bahwa mereka (kedua putranya) menandatangani kontrak,” katanya.
“Perwira berbohong, sersan berbohong. Kemudian seseorang mengatakan mereka tak diizinkan memberi tahu saya yang sebenarnya. Hebat sekali,” tambah Marina.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.