Kemudian pada Februari 2015, perwakilan dari Rusia, Ukraina, Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE), dan para pemimpin di dua wilayah yang dikuasai separatis pro-Rusia, Donetsk dan Luhansk, menyepakati sebuah perjanjian yang berisi 13 poin.
Lagi-lagi, perjanjian yang disebut sebagai Minsk II ini gagal menyelesaikan konflik di wilayah Ukraina bagian timur itu.
Salah satu penyebabnya, karena Rusia bersikeras mengatakan bahwa pihaknya bukan bagian dari konflik tersebut, sehingga tidak terikat dengan kesepakatan tersebut.
Baca Juga: Dubes Rusia untuk Indonesia Tuduh Barat Ubah Ukraina dan 'Pemerintahan Bonekanya' Jadi Anti-Rusia
Di samping itu, rupanya Moskow dan Kiev menginterpretasikan perjanjian Minsk dengan cara yang berbeda. Ukraina memandang perjanjian Minsk sebagai media untuk meraih kembali kontrol atas Donetsk dan Luhansk.
Sementara Rusia memandang kesepakatan tersebut sebagai kewajiban Ukraina untuk memberikan otonomi kepada Donetsk dan Luhansk, dan perwakilan di pemerintahan pusat, yang dampaknya akan memberikan Moskow kekuatan untuk memveto kebijakan-kebijakan luar negeri Kiev.
“Kesepakatan-kesepakatan yang ditandatangani dengan dukungan kekuatan Barat di Rusia tentu saja memberikan jalan untuk menemukan solusi atas desakan pertama-pertama, menghentikan konflik militer di sana dan memberikan Donetsk dan Luhansk status otonomi khusus,” kata Dubes Vorobieva.
“Pemerintah Ukraina (Kiev) menandatangani perjanjian ini. Mereka berkomitmen tetapi mereka tidak melakukan apa-apa. Rusia selalu dituduh tidak memenuhi perjanjian Minsk, sedangkan kami bukan bagian dari perjanjian Minsk.”
Baca Juga: Angkatan Bersenjata Ukraina: Rusia Kehilangan 11.000 Tentara, 258 Tank, 48 Helikopter, 44 Pesawat
Sumber : Kompas TV/Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.