BISHKEK, KOMPAS.TV - Bukan kejutan besar ketika di sebuah kota minyak yang runtuh di Kazakhstan barat terdapat gelombang protes pada Minggu (2/1/2022) lalu. Aksi ini mengingatkan tragedi 10 tahun lalu, saat pasukan keamanan di sana membunuh lebih dari selusin pekerja yang mogok karena gaji dan kemiskinan.
Tapi tetap menjadi misteri bagaimana protes damai atas kenaikan harga bahan bakar akhir pekan lalu di Zhanaozen, pemukiman era Soviet yang kotor di dekat Laut Kaspia, tiba-tiba menyebar lebih dari 1.600 km di seluruh negara terbesar di Asia Tengah, mengubah kota Kazakh terbesar dan paling makmur menjadi zona perang yang dipenuhi mayat, bangunan yang terbakar, dan mobil yang dibakar.
Kekerasan minggu ini di Almaty, bekas ibu kota yang masih menjadi pusat bisnis dan budayanya, mengejutkan hampir semua orang, termasuk pemimpinnya sendiri, yang dibentengi oleh pasukan Rusia, dan juga para lawan politik dan pengkritik pemerintah Kazakhstan.
Presiden Kazakhstan pada hari Jumat memerintahkan pasukan keamanan untuk "menembak tanpa peringatan" untuk memulihkan ketertiban.
Krisis tersebut bertepatan dengan perebutan kekuasaan di dalam pemerintahan, memicu pembicaraan bahwa orang-orang yang bertempur di jalan-jalan adalah proksi faksi-faksi yang bertikai dari elite politik.
Ada juga spekulasi hangat tentang campur tangan Kremlin dan sejumlah kemungkinan penyebab lainnya.
Satu-satunya hal yang jelas adalah gejolak di negara itu melibatkan lebih dari sekadar bentrokan langsung antara pengunjuk rasa yang mengungkapkan ketidakpuasan dengan aparat keamanan yang kejam dari rezim otoriter.
Baca Juga: Usai Dipecat, Mantan Bos Komite Keamanan Kazakhstan Ditahan atas Tuduhan Makar dan Pengkhianatan
Kazakhstan sekarang sebagian besar tertutup dari dunia luar, di mana bandara utamanya tutup dan dikomandoi oleh pasukan Rusia, sementara layanan internet dan saluran telepon sebagian besar mati, sehingga membuat informasi langka.
Presiden Kassym-Jomart Tokayev pada hari Jumat mengecam kaum liberal dan pembela hak asasi manusia, sekaligus menyesali bahwa pihak berwenang terlalu lemah.
Tidak banyak orang yang memercayainya, terutama karena itu adalah pesan yang didukung oleh Rusia, yang pada hari Kamis mengirim pasukan untuk membantu Tokayev mendapatkan kembali kendali.
Tokayev dianggap Barat memiliki catatan panjang dalam menafsirkan semua ekspresi ketidakpuasan di dalam negeri dan di wilayah bekas Soviet lainnya sebagai karya pembuat onar liberal yang tidak puas.
Tapi ada bukti yang berkembang bahwa kekacauan di Almaty, pusat dari kekacauan minggu ini, lebih dari sekedar kekuasaan rakyat yang mengamuk.
Tokayev, dalam sebuah pidato kepada rakyatnya hari Jumat menyinggung hal itu, mengeklaim kekerasan itu adalah pekerjaan sekitar 20.000 "bandit" yang katanya diorganisir dari "satu pos komando".
Seruan untuk negosiasi dengan orang-orang seperti itu, tambahnya, adalah "omong kosong" karena "mereka perlu dihancurkan dan ini akan dilakukan".
Baca Juga: China Dukung Kazakhstan Atasi Kerusuhan, Tuding Ada Pengaruh Asing yang Ingin Picu Revolusi
Danil Kislov, seorang ahli Rusia di Asia Tengah yang mengelola Fergana, sebuah portal berita yang berfokus pada wilayah tersebut, berspekulasi kekacauan itu adalah hasil dari "perebutan kekuasaan yang putus asa" antara klan politik yang bertikai, yaitu orang-orang yang setia kepada Tokayev, 68 tahun, dan mereka yang terikat dengan pendahulunya yang berusia 81 tahun, Nursultan Nazarbayev.
Pada puncak kerusuhan pada hari Rabu, presiden mengumumkan dia telah mengambil alih sebagai kepala dewan keamanan, pekerjaan yang sampai saat itu dipegang oleh Nazarbayev, yang mengundurkan diri sebagai presiden pada tahun 2019 tetapi mempertahankan kekuasaan yang luas dan diberi gelar kehormatan Elbasy, atau pemimpin bangsa.
Tokayev juga memecat keponakan Nazarbayev, Samat Abish, sebagai wakil kepala dinas keamanan utama dan membersihkan beberapa orang lain yang dekat dengan mantan presiden.
Kerusuhan di Almaty, kata Kislov, tampaknya merupakan upaya anggota klan politik Nazarbeyev untuk membalikkan keadaan.
"Ini semua diorganisir secara artifisial oleh orang-orang yang benar-benar memiliki kekuasaan di tangan mereka," katanya, seraya menambahkan keponakan terguling Nazarbayev tampaknya memainkan peran utama dalam mengorganisir kerusuhan tersebut, seperti dilansir New York Times, Sabtu (8/1/2022).
Galym Ageleulov, seorang aktivis hak asasi manusia di Almaty yang mengambil bagian dalam apa yang dimulai sebagai demonstrasi damai Rabu, mengatakan petugas polisi yang memantau protes tiba-tiba menghilang sekitar waktu makan siang.
Sejurus kemudian, tiba-tiba "kemudian kerumunan ini datang", kata Ageleulov, gerombolan yang tampak lebih seperti preman daripada pengunjuk rasa, seperti mahasiswa, pembangkang kutu buku dan kelas menengah yang tidak puas, yang biasanya melakukan protes di Kazakhstan.
Dia mengatakan massa "jelas diorganisir oleh kelompok kejahatan terorganisir" dan menyerbu jalan-jalan utama menuju Akimat, Balai Kota, membakar mobil dan menyerbu kantor-kantor pemerintah.
Baca Juga: Rusia Salahkan AS atas Kerusuhan di Kazakhstan, Dianggap Memprovokasi
Di antara mereka yang mendesak massa adalah Arman Dzhumageldiev, yang dikenal sebagai "Arman the Wild," dengan reputasi sebagai salah satu gangster paling kuat di negara itu, yang menurut para saksi memicu banyak kekerasan.
Dia memberikan pidato di alun-alun pusat Almaty ketika gedung-gedung pemerintah berkobar di belakangnya, menyerukan orang-orang untuk menekan pemerintah untuk membuat konsesi dan mengejek Mukhtar Ablyazov sebagai "pengecut". Mukhtar adalah seorang taipan diasingkan yang merupakan musuh lama mantan presiden Nazarbayev.
Pada hari Jumat, kementerian dalam negeri mengatakan unit pasukan khusus telah menangkap Dzhumageldiev, bersama dengan lima kaki tangannya. Dzhumageldiev adalah pemimpin geng kriminal terorganisir, kata kementerian itu.
Pada hari Jumat, Departemen Luar Negeri AS mengatakan mengizinkan personel non-darurat di konsulat jenderalnya di Almaty untuk pergi secara sukarela, dengan alasan potensi ledakan kekerasan yang tiba-tiba.
Perebutan kekuasaan yang bisa berubah begitu cepat menjadi kekacauan di jalanan adalah ukuran betapa rapuhnya Kazakhstan di bawah permukaan mengkilap kota-kota kosmopolitan yang kaya seperti Almaty.
Ketidakpuasan, meski dieksploitasi oleh elite politik, sangat terlihat nyata. Negara ini kurang represif daripada kebanyakan di wilayah yang didominasi oleh orang kuat yang brutal, seperti mantan diktator tetangga Uzbekistan, Islam Karimov, dituduh menggoreng pengkritiknya dalam tong minyak dan membantai ratusan pengunjuk rasa di kota Andijan tahun 2005.
Baca Juga: Presiden Kazakhstan Perintahkan Tembak Mati di Tempat bagi Pengunjuk Rasa Teroris
Tapi apa pun toleransi relatif dari para pemimpin mereka, banyak orang Kazakh masih membenci elite kleptokratis yang menggelontorkan miliaran dolar untuk proyek-proyek pameran seperti pembangunan ibu kota baru, bernama Nursultan untuk menghormati mantan presiden, sambil mengabaikan kesejahteraan banyak orang biasa.
Akar ketidakpuasan itu ada di tempat-tempat seperti Zhanaozen, kota minyak barat tempat protes minggu ini dimulai, dan kota di mana pasukan keamanan pada Desember 2011 menembaki sekelompok pekerja yang mogok.
Tidak seperti protes di Almaty, protes di Zhanaozen dan kota-kota barat lainnya di sepanjang Laut Kaspia, pusat industri minyak Kazakh, berlangsung damai sepanjang minggu.
Pejabat senior wilayah itu, Zhanarbek Baktybaev, mengatakan pada hari Jumat tidak ada kekerasan, seraya meratap, "Seperti yang Anda tahu, di beberapa wilayah negara kita telah terjadi kerusuhan dan penjarahan oleh unsur-unsur teroris." Pelayanan vital, kata dia, semua berjalan normal.
Mukhtar Umbetov, pengacara serikat pekerja independen di Aktau, di sebelah Zhanaozen, mengatakan melalui telepon protes terus berlanjut tanpa kekerasan di bagian barat negara itu dan mengungkapkan kemarahan pekerja biasa atas kenaikan inflasi dan gaji yang stagnan.
"Kazakhstan adalah negara kaya," kata Umbetov, "tetapi sumber daya ini tidak bekerja untuk kepentingan rakyat; mereka bekerja untuk kepentingan elite. Ada stratifikasi masyarakat yang sangat besar."
Sumber : New York Times/Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.