KABUL, KOMPAS.TV - Ketika pesawat yang dibajak Al-Qaeda menabrak dua menara World Trade Center di Amerika Serikat pada 11 September 2001, warga Afghanistan masih belum pulih dari tragedi mereka sendiri yang juga diakibatkan oleh kelompok tersebut.
Dua hari sebelum peristiwa 9/11, para militan Al Qaeda membunuh Ahmad Shah Massoud, tokoh perlawanan Afghanistan yang mengusir militer Soviet dan Taliban dari Lembah Panjshir.
Saat rakyat Afghanistan bergulat dengan kematian Masood, serangan 9/11 sedang berlangsung di Amerika Serikat, dan secara dramatis mengubah arah masa depan negara mereka.
Tetapi bagi sebagian orang, arti penting serangan Al-Qaeda itu berlalu begitu saja.
"Malam itu saya mendengarkan berita ... ada pembicaraan tentang serangan di Amerika," Abdul Rahman, seorang pensiunan pegawai pemerintah yang berusia dua puluhan saat itu, mengatakan kepada AFP seperti dilansir France24.
"Saya tidak peduli (dengan serangan 9/11) karena selalu ada pembicaraan tentang serangan dan peperangan di radio," katanya.
Namun, beberapa hari kemudian warga Afghanistan mengetahui bahwa gerilyawan Al-Qaeda yang bersembunyi di negara merekalah yang mendalangi serangan, dan penguasa Taliban disalahkan karena melindungi kelompok itu.
Sejak saat itu, mulai banyak yang menyadari bahwa dunia mereka akan segera berubah kelam.
"Saya tidak berpikir Amerika akan menyerang Afghanistan sebagai balas dendam," kata Abdul Rahman. "Saya pikir Amerika itu sangat jauh."
Abdul Samad, seorang pustakawan di Kandahar, masih ingat bagaimana ia melihat orang-orang berkumpul di sekitar kios koran. Halaman-halaman surat kabar saat itu dipenuhi gambar-gambar serangan ke menara kembar di New York itu.
"Hampir dua hari setelah kejadian itu (serangan terhadap menara kembar)," katanya.
Baca Juga: 9/11: Bagaimana Serangan 9/11 Membentuk Joe Biden Sebagai Presiden Amerika Serika
Namun, itu adalah awal dari "pendudukan yang tidak dapat diterima".
"Mereka (Amerika Serikat) mencari alasan untuk datang ke Afghanistan. Itu adalah alasan untuk menduduki tanah ini," tutur Abdul Rahman.
Ketika Taliban menolak untuk menyerahkan pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden, Amerika Serikat kemudian bergerak, menggulingkan rezim garis keras yang memegang kekuasaan sejak 1996, hanya dalam hitungan minggu.
Tetapi Qiyamuddin, seorang tukang kunci dari Kandahar, mengatakan harapan apa pun yang dia miliki tentang pemulihan negerinya setelah beberapa dekade perang dan konflik, melalui invasi yang dipimpin Amerika Serikat, dengan cepat menguap.
"Mereka membuat kekacauan dengan datang ke sini," kata Qiyamuddin.
Ketika perang makin berlarut-larut, lalu Taliban muncul kembali, pasukan asing dituduh tidak menghormati agama dan tradisi Afghanistan. Korban sipil pun makin banyak.
"Orang-orang optimistis dan orang-orang Afghanistan yang mengungsi mulai kembali, seperti mereka yang mengungsi ke Pakistan dan Iran," kata Qiyamuddin.
"Mereka tidak menyadari bahwa kami akan menghadapi lebih banyak masalah."
Noorullah, seorang guru, ingat menonton berita tentang serangan 9/11 melalui siaran TV yang disembunyikan di ruang bawah tanah rumah seorang kerabat, karena Taliban melarang televisi karena dianggap tidak Islami.
"Kelihatannya mengerikan. Mereka berulang kali menunjukkan menara yang terbakar," katanya.
Masa damai yang singkat terjadi setelah Taliban diusir, tetapi kedamaian itu tidak bertahan lama.
"Ketika Taliban pergi, orang-orang senang, mereka setidaknya bisa menghirup kebebasan," katanya.
Namun seiring berjalannya waktu, dia "mulai percaya bahwa Amerika Serikat datang ke tempat yang salah. Itu adalah jebakan bagi mereka".
"Dan 20 tahun kemudian... saya benar," katanya, seraya menambahkan, "Taliban (kini) telah kembali. Orang, wajah, dan sikap yang sama telah kembali."
Sumber : Kompas TV/France24/AFP
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.