"Saya mengajar Al Qur'an untuk mendapat barokahNya, untuk kehidupan saya di sini (dunia) dan di akhirat," kata Rani, menjelaskan bagaimana madrasah menjadi tempat bagi orang-orang transgender untuk beribadah, belajar tentang Islam, dan bertaubat atas tindakan serta dosa-dosa di masa lalu.
Rani mengatakan sekolah yang dia dirikan belum menerima bantuan dari pemerintah, meski beberapa pejabat berjanji akan membantu para siswanya mendapatkan pekerjaan.
Dari hasil beberapa donasi, Rani mengajari siswanya cara menjahit dan menyulam, dengan harapan dapat mengumpulkan dana untuk sekolah dengan cara menjual pakaian.
Baca Juga: Polisi Malaysia Ikut Buru Nur Sajat, Transgender yang Muncul di Masjidil Haram
Parlemen Pakistan mengakui jenis kelamin ketiga pada tahun 2018, memberikan setiap individu hak-hak dasar seperti hak untuk memilih dalam pemilu dan hak untuk memilih jenis kelamin mereka pada dokumen resmi.
Meskipun demikian, transgender tetap terpinggirkan di Pakistan dan seringkali harus mengemis, menari dan melakukan prostitusi untuk mencari nafkah dan bertahan hidup.
Wakil Komisaris Islamabad Hamza Shafqaat mengatakan kepada Reuters, madrasah dapat membantu orang-orang transgender berasimilasi dengan masyarakat arus utama.
Baca Juga: Kisah Pasangan Transgender yang Memiliki Anak Biologis: Ingin Punya Anak Lagi
Sebuah sekolah agama untuk transgender telah dibuka di Dhaka, Bangladesh, dan tahun lalu sebuah kelompok transgender Kristen memulai gerejanya sendiri di Karachi, Pakistan.
Sensus Pakistan 2017 mencatat sekitar 10.000 transgender, meskipun kelompok hak transgender mengatakan jumlahnya sekarang bisa lebih dari 300.000 di negara berpenduduk 220 juta itu.
“Hati saya tenang saat membaca Alquran,” kata salah satu siswa madrasah, Simran Khan, yang juga ingin belajar kecakapan hidup.
"Ini jauh lebih baik daripada hidup yang penuh hinaan," tambah transgender berusia 19 tahun itu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.