“Kami tidak tahu sifat material paku karena mereka sangat kecil, tingginya hanya sekitar 10 nanometer,” kata Wierzbicki. “Yang lebih tidak diketahui adalah apa yang ada di dalam virus, yang tidak kosong tetapi diisi oleh RNA, yang dikelilingi cangkang protein. Jadi, pemodelan ini membutuhkan banyak asumsi.”
“Kami merasa yakin bahwa model elastis ini menjadi titik awal yang baik,” ujar Wierzbicki. “Pertanyaannya adalah, tekanan dan tegangan macam apa yang akan menyebabkan virus pecah?”
Runtuhnya Virus Corona
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tim peneliti memperkenalkan getaran akustik ke dalam simulasi dan mengamati bagaimana getaran tersebut menyebar melalui struktur virus di berbagai frekuensi gelombang ultrasonik.
Tim memulai simulasi dengan getaran 100 megahertz atau 100 juta siklus per detik, yang mereka perkirakan merupakan frekuensi getaran alami cangkang berdasarkan sifat fisik virus yang diketahui.
Saat tim memapar virus pada gelombang ultrasonik 100 MHz, getaran alami virus awalnya tak terdeteksi. Namun dalam sepersekian milidetik getaran eksternal, beresonansi dengan frekuensi getaran alami virus, cangkang dan paku mulai melengkung ke dalam, serupa dengan bola yang melesak ke bagian dalam saat memantul dari tanah.
Saat para peneliti meningkatkan amplitudo atau intensitas getaran, cangkang bisa patah. Ini fenomena yang dikenal sebagai resonansi, yang juga menjelaskan bagaimana penyanyi opera mampu memecahkan gelas anggur jika mereka bernyanyi pada nada dan volume yang tepat. Pada frekuensi yang lebih rendah dari 25 MHz dan 50 MHz, virus menekuk dan memecah lebih cepat, baik di lingkungan simulasi udara maupun dalam air yang kepadatannya serupa dengan cairan di dalam tubuh.
“Frekuensi dan intensitasnya ini berada dalam kisaran getaran yang aman digunakan untuk pencitraan medis,” kata Wierzbicki.
Untuk menyempurnakan dan memvalidasi simulasi mereka, tim Wierzbicki bekerja sama dengan ahli mikrobiologi di Spanyol, yang menggunakan mikroskop gaya atom untuk mengamati efek getaran ultrasonik pada jenis virus corona yang ditemukan secara eksklusif pada babi.
Baca Juga: Studi Microsoft: Tingkat Kesopanan Warganet Indonesia Terburuk Se-Asia Tenggara
Jika ultrasonik secara eksperimental dapat terbukti merusak virus corona, termasuk SARS-CoV-2, dan jika kerusakan ini terbukti memiliki efek terapeutik, tim membayangkan bahwa ultrasonik, yang sudah digunakan untuk memecah batu ginjal dan melepaskan obat melalui liposom, mungkin dapat dimanfaatkan untuk mengobati dan mungkin mencegah infeksi virus corona. Tim peneliti juga membayangkan bahwa miniatur transduser ultrasonik, yang dipasang ke telepon dan perangkat portabel lainnya, mungkin mampu melindungi manusia dari virus.
Wierzbicki menekankan bahwa masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi apakah ultrasonik dapat menjadi pengobatan yang efektif dan strategi untuk mencegah virus corona. Seiring perbaikan simulasi yang dilakukan timnya dengan data eksperimen yang ada, Wierzbicki berencana membidik mekanisme spesifik dari virus corona baru yang bermutasi dengan cepat.
Baca Juga: Studi di Inggris Menemukan Varian Baru Virus Corona di Inggris Mungkin Lebih Mematikan
“Kami mengamati keluarga virus corona secara umum, dan sekarang kami melihat secara khusus pada morfologi dan geometri Covid-19,” ujar Wierzbicki. “Ini bisa berpotensi besar bagi situasi kritis sekarang ini.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.