Phado Man Nyein Maung, mantan pemimpin senior Persatuan Nasional Karen (KNU), salah satu kelompok suku bersenjata terbesar, dan salah satu dari mereka yang menerima posisi dengan junta, mengatakan kepada Reuters, eksperimen demokrasi selama satu dekade tidak mengabadikan hak-hak yang lebih besar untuk kaum dan suku minoritas.
“Tuntutan politik kami tidak terpenuhi oleh pemilihan umum demokratis - ini adalah pelajaran utama yang kami pelajari,” kata Phado Man Nyein Maung melalui telepon.
Namun KNU berusaha untuk menjaga jarak dari kemelut dan pada hari Kamis pemimpinnya, Saw Mutu Saypho, menyerukan kepada semua kelompok kesukuan "bekerja sama untuk benar-benar mengakhiri kediktatoran".
Baca Juga: Militer Myanmar Hancurkan Markas Partai Aung San Suu Kyi
Kelompok kuat lainnya, termasuk Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA) dan Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan (RCSS), juga telah menyatakan dukungan untuk gerakan anti-kudeta.
Para pemimpin TNLA memposting foto diri mereka di Facebook yang sedang membuat salam tiga jari "Hunger Games" yang telah menjadi simbol gerakan tersebut. "Semoga kediktatoran militer jatuh," kata postingan itu.
Seorang juru bicara Tentara Arakan (AA), yang terlibat konflik dan pertempuran mematikan dengan pasukan pemerintah di negara bagian Rakhine barat sejak 2018, mengatakan pihaknya "memantau dengan cermat perkembangan saat ini di dalam Myanmar".
Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) di Utara belum berkomentar secara resmi, tetapi seorang pemimpin senior KIA memperingatkan tentara dalam postingan Facebook untuk tidak menembak demonstran.
Saw Kapi, seorang pemimpin suku Karen dan direktur pendiri think-tank Salween Institute, mengatakan banyak yang melihat, sikap menentang kudeta adalah "tugas" mereka.
Baca Juga: Karena Kudeta, Selandia Baru Tangguhkan Kontak Politik dan Bantuan Militer Pada Myanmar
"Ribuan pemuda suku kami bergabung dalam protes nasional hari ini," katanya. "Tujuan bersama mereka adalah menolak kediktatoran militer dan mendirikan demokrasi federal di Myanmar."
Seperti yang dilansir Associated Press, hari Kamis, (11/02/2021), masyarakat suku minoritas Myanmar, yang terkonsentrasi di negara-negara perbatasan yang sangat jauh, bergabung ke gerakan yang menentang kudeta militer.
Hal ini menunjukkan persatuan yang tidak biasanya terjadi di negara yang terbelah dan terpilah atas kesukuan dan agama.
Selama ini suku-suku tersebut menentang kendali mayoritas suku Burman. Kelompok-kelompok ini juga memiliki perbedaan garis politik dengan Suu Kyi.
Tapi ketidakpercayaan mereka yang mendalam terhadap militer, yang secara brutal menekan perjuangan bersenjata mereka untuk mendapatkan otonomi lebih luas, telah membuat mereka menjadi sekutu yang tidak nyaman dengan partai Suu Kyi.
Baca Juga: Pengunjuk Rasa Myanmar Kepung Kedutaan Besar China, Tuduh Bantu Kudeta Militer
“Rakyat kami telah ditindas oleh junta selama bertahun-tahun. Mereka telah menumpas dengan brutal. Berapa lama lagi mereka akan terus melakukan ini? ” tanya pengunjuk rasa Naw Ohn Hla, seorang aktivis hak asasi manusia dari kelompok etnis Karen, pada sebuah unjuk rasa di Yangon.
“Tetapi orang-orang memahami situasinya, dan kebanyakan dari mereka bergabung sekarang.” tambahnya
Ada juga laporan tentang petugas polisi dari kelompok etnis Kayah mempertaruhkan pekerjaan mereka untuk memprotes pengambilalihan tersebut.
Dalam sebuah video yang direkam Rabu di sebuah desa kecil di negara bagian Kayah timur, 42 petugas polisi terlihat berdiri bersama untuk menyatakan dukungan mereka kepada para pengunjuk rasa dan menolak permohonan dari seorang perwira senior untuk kembali bertugas.
Baca Juga: Pengunjuk Rasa Beragam Lapisan Sosial Myanmar Turun ke Jalan Besar-Besaran Abaikan Larangan Militer
Warga berduyun-duyun ke tempat kejadian untuk melindungi petugas pemberontak dari penangkapan.
Di Negara Bagian Shan bagian timur Myanmar, rumah bagi kelompok etnis minoritas terbesar di negara itu, sejumlah perahu kayu panjang yang digunakan untuk memancing dan transportasi di Danau Inle yang indah digunakan untuk unjuk rasa yang unik.
Perahu kayu panjang tradisional itu dinaiki penumpang yang memegang plakat bertuliskan kecaman terhadap kudeta dan menyerukan keadilan, "Hormati Suara Kami" dan "Katakan Tidak untuk Kudeta".
Unjuk rasa besar juga terjadi di ibu kota, Naypyidaw - yang tidak biasa karena kota itu adalah pusat militer yang juga pusat pemerintahan serta memiliki pangkalan militer yang besar.
Pada hari Kamis, di kota selatan Dawei, pengunjuk rasa menginjak-injak poster Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta yang banyak dicemooh yang sekarang memimpin junta yang berkuasa.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.