JAKARTA, KOMPAS.TV - Ilmu titen 'pranata mangsa' digunakan orang Jawa untuk berbagai hal, khususnya bertani.
Mengutip dari buku "Pranata Mangsa dalam Tinjauan Sains" oleh Rif'ati Dina Handayani dkk., secara harfiah, 'pranata mangsa' berasal dari kata pranata yang berarti aturan dan mangsa yang berarti waktu, musim atau periodisasi iklim di bumi yang disebabkan karena perubahan dan pergeseran garis edar matahari atau solar kalender.
'Pranata mangsa' merupakan pengetahuan sains kultural yang penuh dengan kearifan yang menghubungkan antara orang-orang dengan lingkungannya untuk saling memahami dan meningkatkan rasa saling menghormati dan memiliki terhadap bumi.
'Pranata mangsa' juga disebut sebagai kearifan lokal masyarakat Jawa dalam membaca tanda-tanda alam untuk menentukan musim yang akan dijadikan patokan dalam bidang pertanian dan perikanan.
Pada setiap masa, orang yang mengerti ilmu titen dapat melihat tanda alam berdasarkan perilaku tanaman dan hewan yang merespon tatanan alam.
Misalnya saat mongso kaenem (masa keenam) petani mulai menebar bibit karena sudah ada air. Masa ini juga ditandai dengan munculnya burung belibis.
Baca Juga: Apakah Prakiraan Cuaca BMKG Dapat Dipercaya? Akurasi Diklaim Mencapai 85 Persen
Peneliti iklim dan 'pranata mangsa' Muhammad Ghofur mengatakan, ilmu titen sebenarnya telah tercatat secara formal pada abad 16 dan 17.
Namun menurutnya, secara informal masyarakat sudah menerapkan ilmu itu jauh sebelum itu. Ilmu titen itu rupanya juga banyak dikembangkan di berbagai daerah lain selain Jawa.
Mengutip buku 'Pranata Mangsa', ilmu 'pranata mangsa' diketahui sebagai pembagian waktu atau pengenalan waktu tradisional yang sudah lama dikenal selama ribuan tahun lalu oleh masyarakat Jawa sebagai petunjuk dalam bercocok tanam.
Akan tetapi ilmu tersebut baru diresmikan sebagai kalender oleh Paku Buwana VII di Surakarta pada tahun 1830-1858.
'Pranata mangsa' pada saat itu dipergunakan sebagai petunjuk untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam dan terkait perkiraan cuaca.
Baca Juga: Hukum Mempercayai Ramalan Cuaca, Benarkah Sama dengan Syirik atau Percaya Dukun?
Ghofur menjelaskan, dalam ilmu pertanian Jawa sebenarnya tak hanya dikenal musim kemarau maupun penghujan, namun juga masa yang dikenal sebagai semplah dan pengarep-arep.
Semplah merupakan masa transisi dari musim kemarau ke penghujan sementara pengarep-arep sebaliknya.
“Pemahaman tentang hal ini menjadi dasar petani memperlakukan tanaman padinya. Sebenarnya praktik ini masih banyak digunakan wilayah yang jauh dari akses informasi,” terang Ghofur pada 23 Maret 2022 dilansir dari NU Online.
Berdasarkan buku pranata mangsa, ditinjau dari aspek klimatologi, 'pranata mangsa' memberikan informasi mengenai perubahan musim serta waktu-waktu yang dipengaruhi oleh angin disertai arahnya yang dikendalikan oleh peredaran matahari.
'Pranata mangsa' menggunakan peredaran matahari sebagai acuan dengan siklus berumur 365 hari atau 366 hari yang memuat berbagai fenomena dan gejala alam yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan pertanian maupun persiapan diri menghadapi perubahan musim atau mangsa seperti kekeringan, serangan pengganggu tanaman, dan sebagainya yang muncul pada waktu-waktu tertentu. Sifat dan karakteristik muncul tiap kejadian yang berulang-ulang dalam beberapa dekade.
Sebagai pengetahuan fenomenologi, 'pranata mangsa' menekankan pada pemahaman orang-orang untuk bisa belajar dan memahami bagaimana ekosistem bekerja dan dampaknya terhadap manusia.
Baca Juga: 5 Arahan Jokowi soal Perubahan Iklim: Peringatan Dini hingga Pemanfaatan AI dan Big Data
Persoalan dalam ilmu titen, lanjut Ghofur, sebenarnya penting di saat terjadinya akselerasi perubahan dan krisis iklim yang terjadi akhir-akhir ini.
Akan tetapi, dia menyebut bahwa anomali cuaca yang terjadi sekarang merupakan akibat atau pengaruh dari manusia sendiri.
Sumber : Kompas TV, nu.or.id, uny.ac.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.