Dari ketakutan tersebut, orang yang “terkena” FOMO akan terdorong untuk mencari tahu terus menerus hingga bahkan sampai tahap memaksa agar tahu.
Hal tersebut dilakukan demi mempertahankan hubungannya dengan orang lain, atau dengan kata lain tidak ketinggalan.
FOMO pertama kali diperkenalkan pada tahun 2004 dan kemudian digunakan secara luas sejak 2010.
Istilah unik ini akhirnya masuk ke kamus Oxford pada tahun 2013.
Dikutip dari techtarget.com, media sosial dan smartphone berperan besar menciptakan berkembangnya FOMO pada diri seseorang.
Baca Juga: Apa Arti FOMO, JOMO, FOBO dan YOLO? Ternyata Bukan Sekadar Bahasa Gaul
Para pengguna media sosial akan membandingkan kehidupan nyata mereka dengan apa yang diunggah di berbagai platform online tersebut.
Setelah itu, muncul kecemasan serta ketidakpuasan yang menggiring pengguna medsos semakin berinteraksi atau mencari-cari berbagai sumber berbeda demi memuaskan hasrat FOMO-nya tersebut.
Tidak hanya berhenti dalam mencari-cari tahu atas ketertinggalan yang sedang ramai saja, tapi FOMO sendiri memiliki dampak negatif di kehidupan sehari-hari, seperti:
Tentu bukannya tidak bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan ke-FOMO-an dalam diri.
Cara mengatasi dampak negatifnya bisa dengan mencoba berdamai dengan keadaan, rehat sejenak dari media sosial, fokus terhadap perkembangan dan kelebihan diri, berolahraga dan berteman dengan orang-orang yang positif.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.